Skip to main content

Posts

Showing posts from 2024

Menikmati Kuliner Khas Palestina di Resto Palestina Al Quds Puncak

Kemarin sepulang dari Bandung, kami mampir ke @palestineresto_alqudscafe setelah menyimak review Bang @amritsaraje   Lokasinya nggak jauh dari Toll Jagorawi. Sebaliknya, kalau dari Bandung lumayan jauh. Tapi karena udah niat, anak-anak nggak mau diganti sama menu apapun. Mau makanan Palest1na, titik! Setibanya di sana, rasa laper terbayar. Menunya enak-enak! Bahkan ayam gorengnya pun rasanya beda dengan ayam goreng krispi di Indonesia pada umumnya. Psst, pelayannya bilang, itu pakai bumbu rempah khas Palest1ne, lho! Harganya cuma 16rb udah pakai nasi dan 2 tube kecil saos (saos tomat + saos cabe). Makanan lain nggak kalah enak. Ada Chicken Strip, aneka Burger dan Kebab. Porsinya cukup banyak pula. Kenyang! Nggak cuma makanan yang pakai rempah khusus, minumannya juga. Ada aroma jahe dan rempah lainnya di dalam tehnya, baik yang hangat maupun dingin. Surprise, kami dapat bonus 2 cangkir Kopi dan kudapan khas Palestina, Ruz Bil Haleeb (bubur

Hari ini dan yang Akan Datang

Kemarin dalam perjalanan pulang dari Bandung, si nomor dua tiba-tiba bilang, "Boleh nggak kalau Bilal nanti SMP biasa aja gak jadi mondok?"  Topik ini sebetulnya sudah pernah dia sampaikan sebelumnya, saat sedang semangat-semangatnya ingin jadi pemain sepak bola. Tapi selama ini belum dapat jawaban dari Ayahnya. Dan kemarin terjadilah ... Ayahnya yang berharap punya setidaknya satu anak yang mendalami Al Qur'an, tampak keberatan dengan hal tersebut. Beliau mencoba memberikan pemahaman pada si nomor dua tentang hal ini. Bahwa perjalanan dia sudah sejauh ini bercengkrama dengan Al Qur'an saat ini. Sayang rasanya kalau harus ke SMP biasa. Gak melarang secara langsung, tapi sang Ayah menggambarkan hal-hal baik jika melanjutkan ke pondok. Bla bla bla ... Pokoknya smooth deh gak yang maksa 'harus' gitu. Tapi di telinga si nomor dua tetap saja terdengar sebagai penolakan. Nangis lah dia. Saya menatap suami ngasih tanda tertentu. Dia menatap balik kasih tanda juga. Ka

Hai Impian, Aku Punya Allah!

  Malam ini saya habiskan dengan #pillowtalk dengan si sulung. Anak itu rupanya sedang mengkhawatirkan salah satu impian besarnya yang sudah mendekati deadline. Impian yang secara logis, menilik pada kemampuan, tak akan bisa terpenuhi. Raut kecewa terpancar jelas di wajahnya. Saya memeluknya sesaat, lalu menatap lekat matanya. "Secara logis kita nggak mampu, tapi apa Abang lupa ada Allah? Berdoa lah, memohon sungguh-sungguh. Karena Allah bisa menjadikan apa yang gak mungkin jadi sangat mungkin." "Berdoa mah udah tiap hari juga." "Ya udah, tinggal kita bersiap akan dua hal, keajaiban Allah kabulkan atau kesabaran menerima ganti yang lebih baik dari impian itu." Saya lalu mengisahkan satu cerita yang pernah dibaca bertahun-tahun lalu  Mengenai seseorang yang terjebak di toilet bandara sesaat sebelum penerbangannya menuju suatu tempat untuk presentasi bisnis bernilai sangat tinggi. Qadarullah kunci toilet macet. Dan pada saat itu toilet seolah 's

The Power of Allah

Dulu saya percaya The Power of Dreams. Saat kita sungguh-sungguh menginginkan sesuatu dan berusaha keras menggapainya dengan upaya dan doa, maka hanya soal waktu, impian itu akan kita dapatkan. Sekarang mindset saya berubah. The Power of Allah. Karena sebesar apapun sebuah impian, meski diiringi dengan upaya dan doa yang tak pernah putus, jika Allah belum menaruh ridha atasnya, maka itu akan tetap berupa impian. Sederhana, 'cuma' perkara Ridha. Tapi ternyata sedahsyat itu pengaruhnya. Perumpamaannya kaya gini, ada salah satu anak saya yang 'punya' amandel. Belum perlu dioperasi, tapi harus dijaga asupan makanannya. Maka terhadap anak yang satu ini, saya lebih bawel perkara jajannya. Saat ia ingin jajanan yang dalam catatan dokter bisa memicu amandelnya meradang, maka sekuat tenaga akan saya cegah. Ganti dengan yang lain. Meski sekuat tenaga pula ia merengek. Sekali enggak ya enggak.  Demi apa? Tentu saja kesehatannya. Ya adakalnya dia bandel, jajan sendiri gak mengindah

Membatasi Jumlah Anak, Bolehkah?

Temen saya nanya, "Prith, kalo kita mencukupkan diri dari jumlah anak, dosa gak sih?" Rupanya maksud dia adalah saat kita merasa udah stop, anak gue sekian aja. Mungkin dia terpikir nanya setelah baca status saya kemarin terkait si nomor dua yang pengen punya adik. Saya sampaikan ke dia, tergantung alasannya. Kalau kita berniat menyetop dengan alasan kesehatan, kesadaran diri atau kekhawatiran atas ketidakmampuan mendidik dan mengasuh. Ini macam-macam kondisinya. Ada yang LDR dengan suami, kondisi ekonomi yang pas-pasan, usia yang sudah tak lagi muda dll macam-macam lah kondisi orang. Saya rasa ini dibolehkan. "Coba lu bayangin, ada nih orang yang miskin banget. Jangankan untuk hal-hal tersier, perkara mencukupi makan anaknya aja belum mampu, berharap bantuan orang bahkan. Gue rasa lebih bijak jika dia memutuskan untuk stop dulu punya anak. Atau orang yang tinggal LDR. Dengan jumlah anak yang ada saja sudah kelimpungan karena gak punya support system, sampai acapkali mer

Insight Taushiyah Ustadz DR Syafiq Riza Basalamah, Tafsir surah Al Mursalat 1-15

  Hati-hati dengan film yang kita tonton, terutama yg berasal dari barat. Sangat bahaya jika mereka menyajikan topik tentang hari akhir (Judgement day). Karena pada dasarnya mereka nggak mengimaninya. Jadi mereka akan buat versi mereka.  Boleh jadi akan ada apa yang digambarkan dalam Al Qur'an mengenai bintang yang padam cahayanya lalu berjatuhan, langit yang terbelah, gunung yang berhamburan laksana debu (Al Mursalat : 8-10). Tapi di akhir cerita, biasanya akan tampak sekelompok orang yang tersisa. Mereka bertahan di atas reruntuhan pasca kehancuran langit dan bumi yang demikian dahsyat. Lalu melanjutkan hidup. Mereka yang survive pada umumnya disebabkan oleh adanya orang yang melakukan 'upaya penyelamatan dunia', yang pada akhirnya dianggap pahlawan, entah dia bertahan hidup atau tidak. (Sesaat saya ingat film lawas Armageddon dengan OST-nya yang dulu, di telinga ABG saya, terdengar sangat heroik-haru, dih!) Dan kita tersenyum karena 'happy ending'. Horee, jagoann

Sekian Ribu Kata dari Mulut Perempuan

Beberapa hari kembali ke medsos pasca sakit, saya baca tulisan yang menyalahkan teori sekian ribu kata pada kaum perempuan. Katanya teori itu nggak berdasar. Katanya juga sudah direvisi. Intinya, nggak bener bahwa perempuan itu punya stok sekian ribu kata yang harus dikeluarkan setiap harinya. Lantas banyak pihak sepakat. Banyakan mudharatnya kalau ngikut teori itu. Ntar keluarnya ngomel, merepet, ghibah dan semacamnya. Perempuan harusnya jaga ucapan. Disclaimer, tulisan ini bukan untuk mendebat. Bu, Teteh, Ukhty, Dik ... Jika kita terlahir sebagai perempuan introvert yang gak butuh banyak bicara atau bahkan menganggap bicara itu sulit, atuh jangan menghakimi yang suka bicara itu banyakan mudharatnya. Sebaliknya yang memang suka bicara, nggak perlu mendadak insecure dan diam. Kembalikan saja semua sesuai porsinya. Kita wajib menjaga lisan, karena satu kata pun kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sepakat, no debat. Tapi sebagai perempuan, terutama penyandang status isteri dan ibu, s

Dari Balik Pintu

 Ramadhan tahun ini, nggak pernah nyangka, kebagian ujian sakit cukup parah, lama pula. Alhamdulilllah 'alaa kulli haal, segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan. Mau sakit atau sehat, sejatinya itu takdir terbaik. Mungkin ini cara Allah negur, "Hey Prith, pola makanmu kurang bagus. Pola tidurmu berantakan. Zhalim amat sama badan!" Si ibu pecicilan ini pun menyerah. Ponsel ditanggalkan. Tidur-makan-tidur-makan. Segalanya cuma bisa diliat dan didengar dari balik pintu atau jendela.  Anak-anak datang silih berganti untuk pamit sekolah. Kadang rasanya baru sebentar, eh udah balik lagi. Padahal bukan sebentar, tapi efek obat, jam tidur yang kebolak-balik. "Bu, demamnya belum genap empat hari. Besok kalau masih demam, kesini lagi ya, cek darah." Begitu dokter bilang. Besoknya alhamdulillah enggak demam. Sembuh, nih? Eh ternyata belum. Lusanya suhu tubuh naik drastis. Ke dokter lagi? Enggak. Gak bisa jalan. Sendi kaya dipretelin satu-satu. Nyeri. "Bun, langsun

Hati-hati Penipuan Berkedok Jualan Buku

  Tempo hari di wa group kelas Ustadz Aad, ada orang yang posting buku jualannya sekaligus banyak. Rata-rata buku anak dan atau buku bertema Islami. Saya perhatikan yang posting bukan admin. Karena hampir smua adminnya saya kenal baik. Segera saja saya japri admin. Apalagi sudah ada peserta kelas yang berminat beli, nanya kontak kemana? Ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya di grup-grup lain, sudah berkali-kali ada melakukan hal serupa. Tiba-tiba posting banyak iklan buku berharga murah.  Siapa sih yang gak tertarik sama diskon? Apalagi buat yang suka baca atau pengen anaknya suka buku.  Admin gercep  menghapus, mengeluarkan dan bikin warning, hati-hati terhadap iklan-iklan buku murah seperti itu. Karena ternyata adminnya juga pernah kena modus seperti itu! Pesan dan nggak dikirim. "Lagian bukan cuma perkara ni-pu, Teh Pritha. Tapi yang kaya gini tuh gak punya adab. Ini grup siapa, tujuannya apa, eh main posting jualan." Begitu kata admin. Iya, bener banget! Nggak lama dari

Anak Udah Mau SD Kok Gak Diajarin Puasa?

Anak sulung saya puasa full umur 5th. Anak kedua full 6th. Keduanya puasa tanpa dimotivasi macam-macam. Simpel karena mereka susah makan. Jadi daripada saya pusing ngejar dan ngomel perkara makan siang-siang, mending suruh puasa aja. Eh langsung pada mau! Masya Allah ga ada tuh drama minta buka siang-siang. Paling sore pas emaknya masak atau makanan delivery nyampe dan kecium aromanya.  Nah sekarang yang ketiga. Umur 6 tahun belum mau. Alasannya hari pertama dia demam. Sekarang alhamdulillah udah membaik, tapi belum mau. Eh enggak deng ralat. Tahun lalu pas masih TK-A, atas motivasi dari kakak-kakaknya, dia puasa. Ikut sahur. Tapi di sekolah lamanya, sebagian besar teman-temannya nggak puasa dan tetap bawa bekal sebagaimana biasa. Bete lah dia, pulang ngadu. Saya kasih tau, mungkin mereka belum kuat. Saya ingatkan juga kalau anak TK memang belum wajib puasa. Jadilah setelah dapat beberapa hari puasa sampai maghrib, dia memutuskan gak puasa lagi.  "Boleh gak puasa, tapi jangan bawa

Ana Khoiru Minhu, Aku Lebih Baik Darimu

"Udah capek-capek didik anak jadi shalih, baik, manis, sehat mental, rajin dll. Di pondok/sekolah, kita kan gak tau mereka bakal ketemu sama anak yang kaya apa. Ada pre-man, anak yang diabaikan, anak trauma, anak penuh den-dam dll. Bergaul sama mereka, ntar ketularan deh! Saya pernah berada dalam fase menyetujui kalimat di atas. Tapi sejak sering ikut kajian, terutama topik #aqilbaligh dan #fitrah , pemikiran itu berubah. Anak yang dididik sesuai fitrah hingga pencapaian aqil bersamaan dengan baligh-nya, insya Allah dalam dirinya sudah terpancang iman yang kokoh. Pernah liat bebek? Dia kalau habis berenang berjam-jam sekalipun, begitu naik ke daratan, bulunya akan cepat kering. Ini karena ada lapisan minyak yang akan dengan cepat meluruhkan air. Beda sama kucing, kecebur beberapa detik aja, butuh waktu cukup lama untuk mengeringkan bulunya. Artinya, anak yang dibekali #iman dengan mumpuni sejak dini dan cawan kasih-sayang keluarganya cukup, akan memiliki mental yang relatif stabil

Kesaksian Perempuan Bekerjasama dengan Ib-Lis

Di wag alumni kampus beredar video perempuan yg kasih kesaksian kalau dia dulu pernah dikasih 'kemampuan' sama dukun. Mulai dari mindahin barang tanpa sentuh, nyembuhin orang sakit sampai mindahin dirinya sendiri ke tempat yang jauh hitungan kedip mata. Kata dukunnya itu 'kepintaran' warisan dari kakeknya yang nggak turun ke bapaknya. Awalnya dia seneng dong bisa melakukan hal-hal amazing kaya gitu. Bayangin, hemat banyak untuk ke satu tempat gak usah pake ongkos. Tapi lama-lama dia sadar kalau itu merupakan proses kerjasama dg ib-lis. Sejak mulai adanya keanehan-keanehan dalam hidupnya. Termasuk perkara menyembuhkan orang sakit, yang sebetulnya hanya memindahkan penyakitnya ke bagian tubuh yang lain. Puncaknya saat ada seorang laki-laki di kamarnya. Mukanya pucat mengerikan. Dia bilang, "Aku mau jadikan kamu permaisuriku." Pelan-pelan kulitnya melepuh dan membentuk tulisan Sa-Tan, mirip kaya cap di badan sapi. Dari situ, beberapa kali dia dinyatakan hilang. S

Mendidik Keimanan adalah Tugas Ayah

Beberapa waktu lalu, saya sudah menuntaskan baca buku #KeluargaPeradaban karya Ustadz Adriano Rusfi Psikolog, atau yang biasa dipanggil Ustadz Aad. Ada beberapa poin yang saya garisbawahi karena merasa ilmu ini baru saya dengar, salah satunya yaitu tentang #PendidikanIman yang merupakan kewajiban Ayah, bukan Ibu. Kenapa? Yang utama adalah karena Ayah yang Allah syariatkan untuk secara simbolik membisikkan kalimat-kalimat keimanan di telinga anaknya saat baru lahir, yaitu azan dan iqamah. Keduanya merupakan kalimat keimanan, bukan? Dimana kalimat syariatnya ada dua, yaitu 'Hayya Alash shalah' dan 'Hayya Alal Falah'. Kedua, karena keimanan gak bisa diajarkan oleh Ibu yang punya kecenderungan verbal cerewet. Keimanan itu harus diajarkan dengan sabar dan perlahan. Sehingga tertanam tahap demi tahap dan tertancap sedikit demi sedikit. Ketiga, Iman itu bernuansa #heroik dan #dikotomis baik-buruk, benar-salah, sesuatu yang maskulin banget. Berbeda dengan akhlak yang mengajarka

Saat Anak Mengaku Sakit di Pagi Hari

Pernah mengalami yang seperti ini, Manteman? Saya, setelah sekian lama nggak, hari ini terjadi lagi. Sekaligus dua, malah. Si sulung dan anak gadis! Keduanya sama-sama nggak mau sekolah karena pusing. Panik gak panik gak? Enggak sih, kesel doang. Lagi sibuk bikin sarapan, kudapan dan bekal makan siang, masih harus ngurusin yang (kayanya) #psikosomatis Tau Psikosomatis? Itu lho sakit yang terasa parah karena efek psikologis cemas berlebih terhadap suatu hal. Salah satunya cemas mau menghadapi guru killer, pelajaran yang sulit, takut dibu-lly dan lain-lain. Gejalanya bisa mendadak pusing, sakit perut, gatal-gatal dll. Padahal kalau dibawa ke dokter, cek lab, penyakitnya nggak terdeteksi.  Please gak usah ngomong ain, jin dan semacamnya dulu, ya. Itu topik berbeda, ada bahasan tersendiri.  Alih-alih marah-marah, gak akan guna menghadapi anak terduga psikosomatis. Mending kita ngobrol berhadapan sejajar sama anak. Tanya, kenapa? "Hari ini ada tes pelajaran, Gaza belum siap, susah bang

Over Afirmasi Berpotensi Rusaknya Tauhid

 Suka heran, ada orang sombong nggak ketulungan. Mungkin banyak yang sekadar ikut-ikutan atau terbawa suasana syahdu, akibat selalu merasa kesepian tanpa ada yang peduli. Sini merapat saya bisikin, Saat kamu berpikir 'Diri sendiri adalah alasan bisa sekuat ini.' Ingat, Allah senantiasa ada bersamamu di tengah sabarmu, "Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. al-Baqarah ayat 153) 'Gak ada yang lebih peduli selain diri sendiri.' Really? Coba ingat ini, “Tidak ada musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah SWT. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah SWT niscaya Allah akan memberi Hidayah, petunjuk kepada hatinya (Qalbahu). Dan Allah mengetahui segala sesuatu.” (QS At-Taghabun:11) 'Diri sendiri gak pernah lelah menahan semua beban.' Ciyus, Beb?  “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya“. (QS Ath-Thal

Saat Tak Lagi Selalu Bersama

 "Sabar, cuma sebentar. Anak-anak gak selamanya bareng kita."  Nasehat itu saya dengar dari para ibu senior, bertahun-tahun lalu saat baru punya dua anak, yang selalu jadi buntut ibunya. Yang bahkan ibunya baru sedetik di kamar mandi aja dicariin. Iya, literally sedetik! Saya menatap kehidupan para kakak sepupu dan teman-teman yang punya anak beranjak dewasa, dengan dunia mereka masing-masing. Weekend saat ada acara keluarga, anak tertua tidak ikut karena hang out sama teman-temannya atau ada kegiatan sekolah. Lalu gantian melirik dua lelaki kecil yang berebut mau duduk dekat bundanya, kapan dan di manapun itu. Waktu berlalu. Perlahan saya mulai mengalaminya. Si sulung sudah banyak kegiatan bareng sekolah. Entah ekskul, kerja kelompok, nobar bioskop dll. Hari ini saya menghadiri gathering pembukaan project #aparkostdekatIPB, si sulung PKL sama sekolahnya di daerah Jakarta Pusat. Ayahnya yang khawatir. Berulangkali memberitahunya tentang cara tap barcode KRL dari ponsel, pesan

Bisakah Santri Jadi Liberal?

 Tempo hari seorang teman baik menelepon. Awalnya kami bahas soal umroh. Lalu sebagaimana umumnya ibu-ibu, obrolan bisa dengan mudah berpindah. "Aku sedih banget lho, Mba Pritha. Anakku yang bungsu, sekarang setelah kuliah jadi jauuh banget dari Allah." Begitu beliau membuka cerita. "Jauh gimana, Bu?" "Anak itu sejak kecil, seperti kakak-kakaknya, kusekolahkan di sekolah Islam. Selain sekolah juga ngaji, bahkan boarding pas SMP. Lalu karena sakit, pas SMA tak' pindah ke SMA-IT. Mulai di situ dia berubah. Yang tadinya alim, shalat di masjid, ngaji, menghafal Qur'an eh pelan-pelan berubah haluan. Pemikirannya terutama, kok jadi lain? Kaya nggak ada bekas kalau dia pernah nyantri, Astaghfirullah!" "Kakak-kakaknya gimana?" "Kakak-kakaknya bener, Mba. Yang udah kerja, yang baru lulus, nggak ada yang aneh-aneh. Nih malah belum lama ada teman anak bungsuku, perempuan. Dulunya berhijab shaliha, lah sekarang bajunya se-xy dan merokok. Anak su

Batas Cukup

Pernah nggak sih kalian, terutama para ibu rumahtangga, merasa kalau pekerjaan domestik tuh nggak ada ujungnya? Selesai masak sarapan, cuci perabot, lanjut nganter sekolah. Pulang ke rumah udah tersedia tumpukan baju kotor. Cuci, jemur lalu belanja. Masak makan siang, beberes rumah, ambil jemuran, lipat. Eh udah jam pulang sekolah. Seterusnya sampai malam tiba, untuk menyambut hal yang sama esok harinya. Sebetulnya nggak cuma ibu rumahtangga sih, karena profesi lain juga sama aja. Mungkin yang membedakan karena ibu rumahtangga ini nggak kemana-mana, hasilnya nggak 'bertahan lama' dan umumnya nggak mengenal gaji (padahal mestinya ya dapet, tapi gak usah dibahas di sini, kepanjangan). Jadi bagi sebagian orang terasa lebih lelah dan membosankan. Lalu lelah datang, lack of grateful and happiness. Membandingkan diri dengan orang lain yang kayanya lebih beruntung, trus ngambek. Udah kaya lingkaran se-tan. Been there done that. Saya mengalami itu pas memutuskan gak pake ART lagi setel

Menitipkan Mimpi Pada Anak

Saya ingat dalam kuliah, Ustadz Aad pernah menyampaikan bahwa tidak salah meneruskan cita-cita/harapan pada anak. Jangan terbuai dengan kalimat, "Biarkan anak merajut mimpi mereka sendiri." Beliau memberi contoh kawan semasa kuliahnya dulu. Orang Tionghoa, kebiasaannya kupu-kupu, kuliah-pulang, kuliah-pulang. Pokoknya kalau nggak ada yang penting-penting amat, gak pernah dia berlama-lama di kampus. Sempat Ustadz Aad heran dan nanya kurang lebih gini, "Kenapa sih langsung pulang, buru-buru amat? Gak pengen ikut kegiatan kemahasiswaan gitu?" "Gua kebagian jaga toko Papi, gantian sama adik dan kakak." Begitu jawaban si kawan. Time flies. Setelah lulus, saat para fresh grad sibuk lamar sana sini, sang kawan sudah lihai jadi manajer toko milik papinya. Bahkan bisnis sang Papi berkembang di tangan anak-anaknya. Ada yang mengurusi manajemennya, distribusinya, teknologinya dll. Begitu, menitipkan cita-cita tak selalu buruk. Seperti halnya dokter, tentu tak mengapa

Antara Laskar Pelangi dan Keluarga Peradaban

 Membaca buku kedua #KeluargaPeradaban membutuhkan effort lebih untuk memahaminya. Bukan karena kalimatnya yang rumit, tapi karena isinya yang bikin menimbulkan pertanyaan, 'Masa sih kaya gitu?' Salah satunya adalah pernyataan bahwa keshalihan itu erat kaitannya dengan kreativitas. Karena shalih itu amal, bukan akhlak. Jadi ada gerak aktif dan maju di dalam terminologi ini. Shalih itu bukan sekadar mencegah berbuat dosa tapi lebih ke mengejar pahala. Sikap seperti ini sangat diharapkan terutama pada para pemuda, karena untuk usia 40+ biasanya sudah mulai ingin hidup tenang, pasif menghindari perbuatan dosa.  Sayangnya nggak banyak pemuda jaman now yang punya nyali melakukannya. Mereka lebih memilih konsep shalih konservatif yang pasif. Kalau zaman dulu, nyali para pemuda sangat besar. Salah satunya, mereka nggak takut menginap di prodeo untuk memperjuangkan penggunaan jilbab di sekolah. Saya masih mengerutkan kening bahkan saat sudah memahami maknanya. Masih butuh pembuktian. K

Membangun Keluarga Peradaban

Selalu ada #insight baru dari ilmu yang diberikan Ustadz Aad--demikian kami, murid-muridnya memanggil Psikolog Adriano Rusfi. Dari buku terbaru beliau yang berjudul #KeluargaPeradaban, meski baru menamatkan buku pertama, cukup banyak materi yang menghentak kesadaran saya. "Oh, ternyata akar dari parenting itu bukan pengasuhan anak. Not as simple as a question, how to make our child bla bla bla?" "Oh, menikah itu bukan membangun hubungan relationship yang seimbang antara kedua belah pihak. Karena dalam Islam, kesetaraan antara suami-isteri itu nggak akan pernah ada." "Oh, keluarga peradaban itu harus mulai melatih diri menghadapi terpaan badai, hewan buas, karang dan semacamnya, buka  berkutat dengan hal remeh yang dibesar-besarkan." Dan oh-oh lainnya. Kaya #rollercoaster, baca buku ini bikin saya seolah melakukan manuver berulang. Bersemangat terbang, sejenak melaju datar, lalu dihempas angin kencang hingga t

Kakek yang Selalu Berkecukupan

 Ada seorang lelaki tua yang sudah tak lagi produktif, tapi atas izin Allah, tak pernah kekurangan secara materi. Alih-alih kekurangan, ia bahkan masih bisa berbagi dengan orang lain. Hingga sang cucu heran dan mempertanyakan, dari mana kakeknya punya uang? "Dari Allah." Selalu kakeknya menjawab demikian. Cucunya yang kritis nggak puas dengan jawaban itu. Ia lantas mencari tahu. Dari neneknya akhirnya ia menemukan jawaban. Sang Nenek bercerita kalau kakeknya sudah jadi yatim sejak muda, saat baru kuliah. Melihat banyak adiknya masih sekolah, beliau memutuskan keluar dari kampus dan bekerja. Tanggungjawab diemban tanpa banyak cakap, mempertanyakan dalil atau semacamnya. Ia anak sulung, lelaki pula, wajib menjaga kehormatan keluarga. Ibunda dan adik-adik terbantu, sampai mereka mandiri. Saat akhirnya menikah, ia masih membantu orangtuanya. Adiknya yang kekurangan tetap disokong. Bahkan adik ipar yang kena PHK pun tak luput dari bantuannya. Sandwich generation? Ia tak tau Kaya-r

Perlukah Hijab Sejak Dini?

 Saat belum punya anak perempuan, saya pernah datang ke satu kajian. Begitu banyak saya jumpai ibu-ibu dengan anak perempuannya yang berhijab cantik.  Ada satu anak yang duduk di dekat saya, nggak pakai hijab. Usianya mungkin sekitar 6 tahun. Ibunya tampak rikuh. Terdengar beberapa kali, pelan, ia meminta anaknya agar mengenakan hijabnya. Tapi sang anak menggeleng. Sepertinya ia kegerahan atau ya merasa lebih nyaman begitu saja, tanpa #hijab. Anak itu asyik memainkan mainannya. Saya nggak terlalu memerhatikan ibu itu, sampai akhirnya terdengar, "Kalau kamu gak mau pakai kerudung, nanti Allah marah." Eh, gimana? Pengen banget bilang, kalau anaknya belum terkena beban syariat. Tapi ntar malah dikira ikut campur. Lagian saya juga belum punya anak perempuan, jadi belum pengalaman. Boleh jadi ibu itu pun sebetulnya nggak ingin memaksakan, tapi malu sama lingkungan. Kejadian itu cukup membekas dalam memori. Bikin saya bertekad, nanti kalau Allah takdirkan punya anak perempuan, ngga

ReviewBuku 'Menggali Kekuatan Bercerita'

#ReviewBuku 'Menggali Kekuatan Bercerita' Penulis Prof. Euis Sunarti Pernah kepikiran enggak, kalau kita--sadar ataupun tidak, seringkali terpengaruh oleh sebuah #cerita, terutama jika hal tersebut relate dengan kehidupan, topik yang digemari atau menguras emosi? Misalnya, saat mendengar cerita tentang orang yang sukses melalui perjuangan panjang. Kalau kata anak sekarang #suksesjalurperintis bukan pewaris. Orang-orang yang menempuh perjuangan serupa dalam menjalani hidupnya, akan merasa kalau pencapaian sang tokoh boleh jadi merupakan puncak yang akan digapainya kelak jika ia konsisten dalam berusaha. Atau terkait berita populer, deh. Saat mendengar cerita seorang perempuan yang dikhianati oleh suaminya, maka akan berbondong-bondong perempuan menjadi pembela nomor wahid bagi si tokoh. Yang pertama dan utama tentu saja karena relate, merasa senasib sepenanggungan sesama perempuan.  Berdasarkan pemikiran inilah, Prof Euis menulis buku #MenggaliKekuatanBercerita. Sebagai guru bes