Skip to main content

Bisakah Santri Jadi Liberal?


 Tempo hari seorang teman baik menelepon. Awalnya kami bahas soal umroh. Lalu sebagaimana umumnya ibu-ibu, obrolan bisa dengan mudah berpindah.

"Aku sedih banget lho, Mba Pritha. Anakku yang bungsu, sekarang setelah kuliah jadi jauuh banget dari Allah." Begitu beliau membuka cerita.

"Jauh gimana, Bu?"

"Anak itu sejak kecil, seperti kakak-kakaknya, kusekolahkan di sekolah Islam. Selain sekolah juga ngaji, bahkan boarding pas SMP. Lalu karena sakit, pas SMA tak' pindah ke SMA-IT. Mulai di situ dia berubah. Yang tadinya alim, shalat di masjid, ngaji, menghafal Qur'an eh pelan-pelan berubah haluan. Pemikirannya terutama, kok jadi lain? Kaya nggak ada bekas kalau dia pernah nyantri, Astaghfirullah!"

"Kakak-kakaknya gimana?"

"Kakak-kakaknya bener, Mba. Yang udah kerja, yang baru lulus, nggak ada yang aneh-aneh. Nih malah belum lama ada teman anak bungsuku, perempuan. Dulunya berhijab shaliha, lah sekarang bajunya se-xy dan merokok. Anak sulungku istighfar dengarnya. Eh si bungsu ini biasa saja menanggapinya. Jadi menurut dia, ya terus kenapa? Kaya nggak ada pemikiran kalau itu tuh salah."

Ada rasa nyeri dalam hati. Dzikir memenuhi sanubari. Khawatir sama anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Semoga Allah jaga selalu keimanan mereka.

"Awalnya aku mikir, salahnya di mana? Cara didik semua anak sama, nggak kubedakan. Tapi kenapa hasilnya beda? Tapi trus aku sadar, pasti ada yang bolong ini. Karakter anak kan beda-beda ya, Mba. Mungkin mestinya caranya nggak begini ke si bungsu. Dan aku nggak sadar."

"Ah iya bisa jadi."

Kisah tentang anak itu terus mengalir, termasuk pilihannya untuk kuliah di perguruan tinggi non muslim yang semakin membuatnya jauh dari nilai-nilai keislaman.

Saya menelan ludah. Mengingat diri yang justru menemukan hidayah di universitas non muslim. Di situ saya melihat Islam dari sisi lain, sebagai minoritas. Tapi justru kami, terutama saya, merasa teman-teman dan dosen tuh punya toleransi yang besar. Di hari jumat jika ada kuliah jam 1, ada toleransi keterlambatan untuk yang shalat jumat. Di bulan Ramadhan, nggak ada teman-teman yang makan di kelas sebelum kuliah mulai. 

Kalau hang out, bukan hal aneh untuk teman-teman non muslim menunggu saya shalat di parkiran masjid atau dekat mushala mal. Begitu pula perkara makanan. Dengan sigap mereka ngasih tau, kedai mana yang halal dan tidak di kantin kampus (termasuk kedai yg gak masak ba-bi, tapi pakai minyak ba-bi, angciu atau ingredients non halal lainnya).

Persahabatan yang masih terjalin sampai saat ini. I feel blessed, masya Allah tabarakallah.

"Jadi menurut Ibu, baiknya gimana menghadapi si bungsu?" Saya bertanya balik.

"Tak' doakan aja lah, Mba. Kalau sholat, kusebut terus namanya. Minta supaya Allah bukakan hidayah untuknya, jangan sampai terlambat. Cuma ini pesan untuk njenengan, Mba. Pas masih kecil itu betul-betul anak harusnya dikenalkan sama agama itu tentang kebaikan Allah. Jangan dulu disuruh solat yang bener, disuruh berhijab syar'i atau diburu-buru ngafal Qur'an. Jadi dia cinta sama Allah, segala ibadah itu nggak jadi terpaksa gitu, Mba!"

Yes bener!

Selaras dengan apa yang saya pelajari dari Ustadz Harry Santosa allahuyarham dalam bukunya #fitrahbasededucation (kalau mau bukunya japri aja) tentang memesonakan Allah. Buat hingga anak terpana dan akhirnya jatuh cinta. Ya gimana sih orang bucin, pasti nurut apa aja yang diminta kekasihnya, bukan? Begitulah orang yang udah jatuh cinta sama Islam. Allah minta shalat, ya shalat. Diminta puasa ya puasa.

Begitu pula diajarkan oleh Ustadz Adriano Rusfi dalam bukunya #keluargaperadaban

Di sini malah ada satu bab yang bikin saya sedikit merenung. Di mana dalam bab tersebut disampaikan mengenai pengalaman Ustadz Aad yang tak jarang menemui bahwa anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri dengan pendidikan agama terbilang minim, justru banyak yang memiliki adab baik di luar sekolah. Sementara mereka yang bersekolah di IT, malah tak jarang sikapnya tak ahsan di luar sekolah.

Ustadz Aad berpikir, jangan-jangan ini karena mereka justru terlalu banyak dijejali ilmu agama sehingga bosan? Atau guru-gurunya terlupa menumbuhkan rasa cinta pada agama, melulu mengajarkan ilmu wajib. 

Tentu saja ini bukan hasil penelitian panjang, hanya pengamatan dengan sampel sangat terbatas. Jadi jangan diartikan pasti demikian, ya.

"Agama kita itu mengajarkan hitam putih, haq ya haq, batil ya batil. Tidak bisa dicampuraduk, Mba. Tapi kalau boleh saya pesan, kenalkan anak-anak pada banyak warna. Jadi ya kita mengajarkan kebaikan, tapi kasih tau mereka kalau di luaran tuh ada yang demikian. Misalnya ada yang merokok, ya jelaskan kalau itu negatif, efeknya sangat buruk untuk kesehatan. Kasih tau ada yang namanya free s-e-x. Itu betul-betul dilarang, bahkan mendekatinya saja sudah dosa. Aku mikir soalnya, bisa jadi anakku ini dulu hanya mengenal yang baik saja, yang putih saja. Lalu saat keluar pondok dan dia melihat teman-temannya hitam dan tampak 'baik-baik saja', maka dia mencoba. Lho ternyata nggak papa tuh. Susah-susah selama ini aku berusaha baik. Mending gini aja. Ya memang sih anakku nggak sampai fatal kesitu, naudzubillahimindzalik. Tapi bagiku yang berjuang memberikan pemahaman syariat, di mana aku sendiri pun lulusan pondok, rasanya perih menyaksikan anakku seperti itu, Mba."

Saya menghela nafas. Pasti, menyedihkan sekali setelah perjuangan panjang. Noted nih, harus banget merhatiin anak, perbanyak lagi ngobrol dan meluk mereka serta menyebutnya dalam doa.

(Buku #dialogiman ready 2eks di saya, segel dan non segel)

"Mba Pritha, aku mau ngajak anakku umroh. Semoga di sana Allah bukakan hatinya." Begitu beliau menutup kisahnya. Masya Allah Tabarakallah.

Saya meminta izin untuk menuliskan ini, semoga bisa diambil hikmahnya oleh teman-teman. Alhamdulillah beliau mengizinkan.

Istiqomah memang tak mudah. Tentu kita ingat bagaimana seorang santri asal Bangka-Belitung macam Dipa Nusantara 4idit bisa berubah haluan demikian jauh ke komu-nis. Atau adik Buya Hamka yang terdidik dengan ajaran Islam demikian kental di tanah Minang, tak hanya log out tapi juga jadi pemuka agama lain.

Eit, jangan pesimis!

Ingat juga seberapa ja-hat Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid sebelum memeluk Islam. Yang deket deh, masih ingat Koh Steven allahuyarham? Berapa banyak muslim yang ia murtadkan? Tapi atas izin Allah, setelah ia memeluk Islam, berapa banyak yang log in melalui perantara dirinya?

Allah yang Maha kuasa membolak-balik hati manusia. Tetaplah meminta agar Dia senantiasa menjaga anak-anak kita dan menyadarkannya setiap kali mereka berbelok. Ridhailah mereka atas segala tindak-tanduknya. Bukankah ridha Allah terletak pada ridha orangtua? Jaga lisan, terutama utk para Ibu.


Salam hangat, 

Pritha Khalida 🌷


*pemesanan buku bisa ke wa.me/628179279177

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?