Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2024

Batas Cukup

Pernah nggak sih kalian, terutama para ibu rumahtangga, merasa kalau pekerjaan domestik tuh nggak ada ujungnya? Selesai masak sarapan, cuci perabot, lanjut nganter sekolah. Pulang ke rumah udah tersedia tumpukan baju kotor. Cuci, jemur lalu belanja. Masak makan siang, beberes rumah, ambil jemuran, lipat. Eh udah jam pulang sekolah. Seterusnya sampai malam tiba, untuk menyambut hal yang sama esok harinya. Sebetulnya nggak cuma ibu rumahtangga sih, karena profesi lain juga sama aja. Mungkin yang membedakan karena ibu rumahtangga ini nggak kemana-mana, hasilnya nggak 'bertahan lama' dan umumnya nggak mengenal gaji (padahal mestinya ya dapet, tapi gak usah dibahas di sini, kepanjangan). Jadi bagi sebagian orang terasa lebih lelah dan membosankan. Lalu lelah datang, lack of grateful and happiness. Membandingkan diri dengan orang lain yang kayanya lebih beruntung, trus ngambek. Udah kaya lingkaran se-tan. Been there done that. Saya mengalami itu pas memutuskan gak pake ART lagi setel

Menitipkan Mimpi Pada Anak

Saya ingat dalam kuliah, Ustadz Aad pernah menyampaikan bahwa tidak salah meneruskan cita-cita/harapan pada anak. Jangan terbuai dengan kalimat, "Biarkan anak merajut mimpi mereka sendiri." Beliau memberi contoh kawan semasa kuliahnya dulu. Orang Tionghoa, kebiasaannya kupu-kupu, kuliah-pulang, kuliah-pulang. Pokoknya kalau nggak ada yang penting-penting amat, gak pernah dia berlama-lama di kampus. Sempat Ustadz Aad heran dan nanya kurang lebih gini, "Kenapa sih langsung pulang, buru-buru amat? Gak pengen ikut kegiatan kemahasiswaan gitu?" "Gua kebagian jaga toko Papi, gantian sama adik dan kakak." Begitu jawaban si kawan. Time flies. Setelah lulus, saat para fresh grad sibuk lamar sana sini, sang kawan sudah lihai jadi manajer toko milik papinya. Bahkan bisnis sang Papi berkembang di tangan anak-anaknya. Ada yang mengurusi manajemennya, distribusinya, teknologinya dll. Begitu, menitipkan cita-cita tak selalu buruk. Seperti halnya dokter, tentu tak mengapa

Antara Laskar Pelangi dan Keluarga Peradaban

 Membaca buku kedua #KeluargaPeradaban membutuhkan effort lebih untuk memahaminya. Bukan karena kalimatnya yang rumit, tapi karena isinya yang bikin menimbulkan pertanyaan, 'Masa sih kaya gitu?' Salah satunya adalah pernyataan bahwa keshalihan itu erat kaitannya dengan kreativitas. Karena shalih itu amal, bukan akhlak. Jadi ada gerak aktif dan maju di dalam terminologi ini. Shalih itu bukan sekadar mencegah berbuat dosa tapi lebih ke mengejar pahala. Sikap seperti ini sangat diharapkan terutama pada para pemuda, karena untuk usia 40+ biasanya sudah mulai ingin hidup tenang, pasif menghindari perbuatan dosa.  Sayangnya nggak banyak pemuda jaman now yang punya nyali melakukannya. Mereka lebih memilih konsep shalih konservatif yang pasif. Kalau zaman dulu, nyali para pemuda sangat besar. Salah satunya, mereka nggak takut menginap di prodeo untuk memperjuangkan penggunaan jilbab di sekolah. Saya masih mengerutkan kening bahkan saat sudah memahami maknanya. Masih butuh pembuktian. K

Membangun Keluarga Peradaban

Selalu ada #insight baru dari ilmu yang diberikan Ustadz Aad--demikian kami, murid-muridnya memanggil Psikolog Adriano Rusfi. Dari buku terbaru beliau yang berjudul #KeluargaPeradaban, meski baru menamatkan buku pertama, cukup banyak materi yang menghentak kesadaran saya. "Oh, ternyata akar dari parenting itu bukan pengasuhan anak. Not as simple as a question, how to make our child bla bla bla?" "Oh, menikah itu bukan membangun hubungan relationship yang seimbang antara kedua belah pihak. Karena dalam Islam, kesetaraan antara suami-isteri itu nggak akan pernah ada." "Oh, keluarga peradaban itu harus mulai melatih diri menghadapi terpaan badai, hewan buas, karang dan semacamnya, buka  berkutat dengan hal remeh yang dibesar-besarkan." Dan oh-oh lainnya. Kaya #rollercoaster, baca buku ini bikin saya seolah melakukan manuver berulang. Bersemangat terbang, sejenak melaju datar, lalu dihempas angin kencang hingga t

Kakek yang Selalu Berkecukupan

 Ada seorang lelaki tua yang sudah tak lagi produktif, tapi atas izin Allah, tak pernah kekurangan secara materi. Alih-alih kekurangan, ia bahkan masih bisa berbagi dengan orang lain. Hingga sang cucu heran dan mempertanyakan, dari mana kakeknya punya uang? "Dari Allah." Selalu kakeknya menjawab demikian. Cucunya yang kritis nggak puas dengan jawaban itu. Ia lantas mencari tahu. Dari neneknya akhirnya ia menemukan jawaban. Sang Nenek bercerita kalau kakeknya sudah jadi yatim sejak muda, saat baru kuliah. Melihat banyak adiknya masih sekolah, beliau memutuskan keluar dari kampus dan bekerja. Tanggungjawab diemban tanpa banyak cakap, mempertanyakan dalil atau semacamnya. Ia anak sulung, lelaki pula, wajib menjaga kehormatan keluarga. Ibunda dan adik-adik terbantu, sampai mereka mandiri. Saat akhirnya menikah, ia masih membantu orangtuanya. Adiknya yang kekurangan tetap disokong. Bahkan adik ipar yang kena PHK pun tak luput dari bantuannya. Sandwich generation? Ia tak tau Kaya-r

Perlukah Hijab Sejak Dini?

 Saat belum punya anak perempuan, saya pernah datang ke satu kajian. Begitu banyak saya jumpai ibu-ibu dengan anak perempuannya yang berhijab cantik.  Ada satu anak yang duduk di dekat saya, nggak pakai hijab. Usianya mungkin sekitar 6 tahun. Ibunya tampak rikuh. Terdengar beberapa kali, pelan, ia meminta anaknya agar mengenakan hijabnya. Tapi sang anak menggeleng. Sepertinya ia kegerahan atau ya merasa lebih nyaman begitu saja, tanpa #hijab. Anak itu asyik memainkan mainannya. Saya nggak terlalu memerhatikan ibu itu, sampai akhirnya terdengar, "Kalau kamu gak mau pakai kerudung, nanti Allah marah." Eh, gimana? Pengen banget bilang, kalau anaknya belum terkena beban syariat. Tapi ntar malah dikira ikut campur. Lagian saya juga belum punya anak perempuan, jadi belum pengalaman. Boleh jadi ibu itu pun sebetulnya nggak ingin memaksakan, tapi malu sama lingkungan. Kejadian itu cukup membekas dalam memori. Bikin saya bertekad, nanti kalau Allah takdirkan punya anak perempuan, ngga

ReviewBuku 'Menggali Kekuatan Bercerita'

#ReviewBuku 'Menggali Kekuatan Bercerita' Penulis Prof. Euis Sunarti Pernah kepikiran enggak, kalau kita--sadar ataupun tidak, seringkali terpengaruh oleh sebuah #cerita, terutama jika hal tersebut relate dengan kehidupan, topik yang digemari atau menguras emosi? Misalnya, saat mendengar cerita tentang orang yang sukses melalui perjuangan panjang. Kalau kata anak sekarang #suksesjalurperintis bukan pewaris. Orang-orang yang menempuh perjuangan serupa dalam menjalani hidupnya, akan merasa kalau pencapaian sang tokoh boleh jadi merupakan puncak yang akan digapainya kelak jika ia konsisten dalam berusaha. Atau terkait berita populer, deh. Saat mendengar cerita seorang perempuan yang dikhianati oleh suaminya, maka akan berbondong-bondong perempuan menjadi pembela nomor wahid bagi si tokoh. Yang pertama dan utama tentu saja karena relate, merasa senasib sepenanggungan sesama perempuan.  Berdasarkan pemikiran inilah, Prof Euis menulis buku #MenggaliKekuatanBercerita. Sebagai guru bes

Praktekkan Teknik Reframing saat Umroh

 Ngobrol sama seorang teman terkait umroh ... "Mba, temenku gak jadi pakai #jannahfirdaus karena katanya gak bagus." "Kata siapa?" "Browsing, ada yang rating jelek." "Oh.. ya setiap travel pasti ada plus minusnya lah. Mungkin ada hal yang bagi penulis rating rendah itu kurang berkenan atau kurang nyaman. Jadi dia tulis jelek. Wajar aja, sama kaya usaha lainnya, restoran, hotel, salon. Pasti ada yang puas, ada yang B aja, ada yang gak suka." "Mba Pritha dulu kenapa pakai Jannah?" "Diajakin Teh Kiki Barkiah sharing parenting di tanah suci. Waktunya jeda dua hari dari saat kami (saya dan suami) memutuskan untuk mulai nabung #umroh. Kami pikir, itu cara Allah ngasih jawaban. Karena kami saat itu lagi browsing sana sini. Browsing dalam kondisi awam sama sekali perkara umroh. Saat ada yang rekomen trus tau kalau ada teman dekat yang udah pernah pakai dan memuaskan, ya kenapa enggak?" 🕋🕋 Terhadap review negatif, saya nggak mau semb

Kisah Kurir yang Ingin Jadi Pemeran Utama

  Izinkan saya bercerita tentang seorang teman baik yang sering banget jadi kurir kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Seorang perempuan jelang usia emas, yang nggak tegaan sama kesusahan orang lain, padahal kondisinya terkadang juga nggak lebih baik dari orang yang datang meminta tolong padanya. Jika ada single parent yang bercerita padanya mengenai tunggakan SPP anak sehingga si anak terancam tak bisa ikut ujian, dia post di medsosnya, "Peluang amal nih, ada anaknya teman single parent. Prestasinya bagus (sambil post foto raport), tapi gak bisa ujian karena nunggak SPP sekian bulan." Nggak lama, muncul status lanjutan dengan caption, "Alhamdulillah SPP anak tadi lunas, terimakasih orang baik." Waktu berselang, dia posting lagi, "Bantu yuk, ada ummahat yang kena PHP. Sudah bikin kue sekian pcs, tapi pemesan meng-cancel. Padahal modalnya pas-pasan. Dia butuh untuk ibunya berobat." Cuma berselang sekian menit, sold out lah puluhan pcs kue itu. Dengan ba

Perempuan, Ras Terkuat Saat Badai Datang

"Teh, setuju gak sih kalau orang bilang, jadi isteri harus berpenghasilan, jaga-jaga suami PHK/bangkrut, wafat atau cerai?" Seorang sahabat menanyakan itu pada saya, saat kalender baru saja terpasang pekan lalu. Bagi saya pribadi, #perempuan harus punya skill, tapi jangan diniatkan kalau suami begini begitu. Pelajari dan praktekkan saja untuk mengisi waktu luang, menambah pemasukan dan yang harus banget adalah untuk meraih ridha-Nya. Buat apa kalau Allah nggak ridha, ya kan? Sejak lama selalu ada perempuan-perempuan yang mengetuk WA atau DM saya, curhat. Belakangan topiknya seputar struggle-nya mereka menghadapi suami yang pelit. Ada sejak menikah sampai sekian dua dekade usia pernikahan hampir tak pernah memberi nafkah. Ada juga yang tadinya memberi pas-pasan, lalu kejeblos dalam panggung politik ikut mencalonkan diri, pakai uang pribadi bahkan utang sana sini. Lalu abai terhadap nafkah keluarga, sampai yang sudahlah tak menafkahi tapi meminta isteri memberi pada keluarganya

Introvert, Kok Rame?

  Ih baru tau kalau tanggal 2 Januari itu #hariintrovertsedunia Yeay, terimakasih sudah bikin hari istimewa buat kami, manusia dengan karakter yang seringkali disalah-pahami. Introvert itu katanya sombong, jutek, eksklusif, pilih-pilih teman dan semacamnya. Setidaknya itulah label yang sering dialamatkan ke saya sejak dulu. Padahal dulu jaman sekolah belum kenal istilah ini. Kalo nanya, masa sih? Ibu saya yang jawab, "Emang kamu mah judes mukanya juga. Senyum kek, orang tuh disapa." Tapi, emang iya, introvert se-tertutup itu?  Pertama, idealnya sih menentukan Introvert atau Extrovert itu lewat pemeriksaan Psikolog. Lah resmi amat? Kan diagnosa ini gak se-berbahaya Psiko-pat? Bukan gitu, Bestie. Self diagnose itu kalaupun gak berbahaya secara ekstrim, tapi bisa merugikan. Coba aja kalau ada orang merasa dia introvert 'cuma' via Google. Trus dia meyakini itu dan melewatkan pekerjaan yang sebetulnya sanggup dia kerjakan, tapi berpendapat kalau pekerjaan itu gak cocok bua