Skip to main content

Menitipkan Mimpi Pada Anak


Saya ingat dalam kuliah, Ustadz Aad pernah menyampaikan bahwa tidak salah meneruskan cita-cita/harapan pada anak. Jangan terbuai dengan kalimat, "Biarkan anak merajut mimpi mereka sendiri."

Beliau memberi contoh kawan semasa kuliahnya dulu. Orang Tionghoa, kebiasaannya kupu-kupu, kuliah-pulang, kuliah-pulang. Pokoknya kalau nggak ada yang penting-penting amat, gak pernah dia berlama-lama di kampus.

Sempat Ustadz Aad heran dan nanya kurang lebih gini, "Kenapa sih langsung pulang, buru-buru amat? Gak pengen ikut kegiatan kemahasiswaan gitu?"

"Gua kebagian jaga toko Papi, gantian sama adik dan kakak." Begitu jawaban si kawan.

Time flies. Setelah lulus, saat para fresh grad sibuk lamar sana sini, sang kawan sudah lihai jadi manajer toko milik papinya. Bahkan bisnis sang Papi berkembang di tangan anak-anaknya. Ada yang mengurusi manajemennya, distribusinya, teknologinya dll.

Begitu, menitipkan cita-cita tak selalu buruk. Seperti halnya dokter, tentu tak mengapa menginginkan anaknya jadi dokter juga. Mungkin jika sang Ayah baru bisa jadi dokter spesialis, anaknya dimotivasi untuk jadi dokter sub spesialis. 

Tapi gimana kalau anaknya nggak pengen jadi dokter? Sukanya bisnis. Ya mungkin bisa mengembangkan tempat praktek sang ayah dari yang hanya satu ruangan, jadi satu RS.

Ini kaya temen saya, dokternya anak-anak. Pemilik RS di daerah Cibinong. Tante saya bilang, dulu ayahnya allahuyarham punya klinik kecil, sekarang udah jadi RS besar. Semua anaknya jadi dokter. Ada Obgyn, DSA, Akupunktur. Masya Allah paket lengkap untuk melahirkan dan membersamai tumbuh kembang anak.

Bisa lah itu diotak-atik. Yang jelas menitipkan mimpi pada anak, nggak salah lho. Tapi jangan lupa untuk ikut membersamai mempersiapkan sang anak dalam mencapai cita-cita tersebut. Jangan berharap instan. Jika saat ini menjabat sebagai lurah, trus anaknya gak pernah mempelajari ilmu terkait atau ikut turun ke masyarakat sama sekali, ujug-ujug disuruh.



Btw, ada banyak kisah hikmah serta ilmu yang mendasarinya dalam kelas maupun buku-buku Ustadz Adriano Rusfi Psikolog. Silakan japri mau yang mana. Buku udah ready, yaa.


☎️ wa.me/628179279177


 

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?