Skip to main content

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan


Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif :

1. Lebay

2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target

3. Tidak mau disalahkan

4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic 

5. Mudah putus asa, daya juang rendah


Really?

Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat.

Keren kan?

Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan.

Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang apa-apa tinggal klik, jika tidak dibiasakan beraktivitas gerak aktif, mereka akan tumbuh jadi generasi mager. Ketidakrealistisan dan kelebayan mereka sedikit banyak terbentuk dari influencer/selebriti yang setiap hari mondar-mandir flexing, tanpa ada filter memadai dari orangtua.

Sampai sini, mulai paham?

Jadi yang salah siapa?

Jelas, orangtua!

Ibu/Bapak, saya paham kalau sebagian dari kita sebagai Gen X atau Y (Milenial) juga terkaget-kaget dengan pesatnya perkembangan teknologi sejak mid 90an. Mau tidak mau, ini akan mengubah pola asuh. Tak bisa lagi mengikuti orangtua kita dulu.

Karena gak bisa itu, maka jangan bilang, "Dulu gue tuh patuh banget sama emak bapak gue. Heran anak sekarang, dikasih tau kok bantah?"

Atau, "Dulu gue tuh disiplin apalagi urusan sekolah. Anak sekarang ada masalah dikit, mogok sekolah."

Alih-alih ngomong gitu, coba introspeksi, gimana pola asuh ortu dulu, gimana kita sekarang? Jangan-jangan kitalah yang bikin Gen-Z jadi #GenerasiStrawberry yg manis di luar, rapuh di dalam.

Jangan tersinggung dulu, Pak/Bu. Sama kok saya juga punya anak Gen-Z yang kadang manis kadang bikin gemes. Jadi tau rasanya kaya apa. Cuma kalo pas lagi bikin gemes, saya selalu ingat kisah seorang ulama yang kalau anak dan isterinya bermasalah, maka beliau tidak akan langsung menyalahkan. Tau yang dilakukan sang ulama? Melihat ke diri sendiri, apa maksiat yang udah diperbuat? Karena ini pasti berkaitan.

Ya udah ketimbang emosi dan marahin anak, saya memilih banyak istighfar, taubat. Minta petunjuk sama Allah, mestu ngapain nih? Ya kan Allah pencipta anak-anak kita, penggenggam jiwanya. Bayangkan orang yang dulunya juahat macem Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid aja, atas kehendak Allah bisa jadi baik, bahkan makam Umar ditempatkan bersebelahan dengan orang paling mulia, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Emangnya anak kita yang Gen-Z itu sejuahat Umar atau Khalid? Enggak kan? Kalo ambil teori peluang, artinya peluang dapet hidayahnya lebih gede. Itu kabar baiknya.

Kabar buruknya, mereka bisa berubah tergantung siapa mentornya!

Coba, mampu gak kita sebagai orangtua jadi mentor yang memadai buat anak-anak yang telanjur dicap lebay, gak realistis, selalu nyalahin orang lain dan berasa jadi pusat dunia itu, untuk pindah kuadran jadi pemuda tangguh?

Sanggup gak kita bersinergi dengan pasangan dan lingkungan untuk membentuk keimanan yang kokoh, mental yang sehat pada anak-anak itu? Yang sempat menorehkan trauma di masa kecilnya akibat pola asuh yang keliru, mau berubah gak? Mau menurunkan ego gak setidaknya untuk minta maaf dan berjalan beriringan dengan anak.

Berani berlelah-lelah membantu anak-anak mengeluarkan potensi terbaiknya dan mengeliminasi sikap buruknya?

Kalau masih bingung caranya, coba baca buku #Remagogi karya Ustadz Adriano Rusfi Psikolog. Masih P0 sih, insya Allah ready tgl 20an Juni ini. Remagogi adalah kurikulum darurat untuk mengeluarkan anak yang telanjur kecebur jadi remaja pasca baligh, jadi pemuda tangguh. Mengubah generasi Strawberry jadi bermental baja.

Ada juga kelas instensifnya sebanyak 8 sesi online zoom. Udah mulai akhir Mei lalu, berlangsung sampai akhir Juni. Kalau mau daftar masih bisa sih, ntar sesi yang kelewat, nonton rekamannya, bakal dikasih kok.

Kalau anak masih kecil gimana? Ada buku #PendidikanAqilBaligh yang juga P0 cetak ulangnya, mencegah anak-anak #BalightanpaAqil


Info lengkap sila ☎️ wa.me/628179279177


Btw, buku sama kelas sebetulnya bukan yang utama, sih. 'Cuma' sekadar panduan kalau bingung mulai dari mana. 'Cuma' buat memantik kemampuan yang sudah Allah instal dalam diri. Yang paling penting adalah, Kita siap berjuang gak, menghapuskan Gen-Z yang melehoy? Supaya kelak satu atau dua dekade lagi, No #GenerasiStrawberry No #Fatherless

Mau jadi Indonesia Emas kan? Yang bisa teriak, "Menyala Anakku!" 🔥🔥🔥

Bukan Gemas, Apalagi Cemas!


Salam hangat,

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?