Skip to main content

Membatasi Jumlah Anak, Bolehkah?


Temen saya nanya, "Prith, kalo kita mencukupkan diri dari jumlah anak, dosa gak sih?"

Rupanya maksud dia adalah saat kita merasa udah stop, anak gue sekian aja. Mungkin dia terpikir nanya setelah baca status saya kemarin terkait si nomor dua yang pengen punya adik.

Saya sampaikan ke dia, tergantung alasannya.

Kalau kita berniat menyetop dengan alasan kesehatan, kesadaran diri atau kekhawatiran atas ketidakmampuan mendidik dan mengasuh. Ini macam-macam kondisinya. Ada yang LDR dengan suami, kondisi ekonomi yang pas-pasan, usia yang sudah tak lagi muda dll macam-macam lah kondisi orang.

Saya rasa ini dibolehkan.

"Coba lu bayangin, ada nih orang yang miskin banget. Jangankan untuk hal-hal tersier, perkara mencukupi makan anaknya aja belum mampu, berharap bantuan orang bahkan. Gue rasa lebih bijak jika dia memutuskan untuk stop dulu punya anak. Atau orang yang tinggal LDR. Dengan jumlah anak yang ada saja sudah kelimpungan karena gak punya support system, sampai acapkali merepotkan orang untuk nitip anak. Ini juga bijak banget kalau dia memutuskan untuk membatasi. Lainnya ada yang berturut-turut punya anak dengan jarak pendek. Supaya mentalnya terjaga, stop dulu. Ya gak papa. Ada juga yang nggak LDR tapi suaminya gak peduli perkara pendidikan dan pengasuhan anak, sehingga dia fight sendiri dalam hal ini. Dan kondisi lainnya."

"Emang ada yang gak boleh?"

"Yang gak boleh adalah memilih childfree karena takut gak bisa menafkahi, khawatir perubahan bentuk tubuh jadi gak se-xy lagi, khawatir perhatian dan cinta pasangan berubah/berkurang. Ini namanya ketakutan berlebih yang nggak berdasar."

"Tapi bukannya ada hadis tentang banyak anak itu baik?"

Nabi SAW mengajarkan, “Nikahilah perempuan yang penuh cinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (HR. Abu Daud)

"Ini maksudnya? Betul banget, no debat tentang ini. Idealnya memang demikian. Tapi apa semua orang mampu? Kan enggak. Coba perhatikan ayat berikut..."

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (QS. An Nisa : 9)

"Inilah pentingnya ilmu-ilmu pernikahan dipelajari oleh suami isteri bersamaan. Nikah itu bukan perkara oke gas tapi kesediaan untuk berpikir dan merasa. Nggak bijak kalau sekadar naf-su pengen punya banyak anak karena keyakinan banyak rezeki tapi nggak memikirkan jangka panjangnya. Contohnya maaf, misalnya tinggal di kost-kostan yang kamarnya cuma satu. Gimana coba kalau anaknya perempuan dan laki-laki. Masa mau disatuin tidur di satu ruangan? Masih bayi gak masalah. Kalau udah pada baligh, apa gak  mengundang masalah? Memicu in-cest, naudzubillahimindzalik. Atau mau punya anak banyak tapi juga ingin berkarir, jadi anak-anak semuanya dititip ke neneknya. Kan gak bener juga begitu."

"Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur di antara mereka,” (HR Abu Daud).

"Kalau gue nih, belum mau punya anak lagi karena masih tinggal sama mertua, boleh gak?"

"Ya itu ditelaah bersama aja sama suami baik-buruknya. Kalau suami bertanggungjawab, siaga, hubungan dengan mertua juga baik, kesehatan lo memadai dan sederet hal baik lainnya, kenapa harus membatasi? Lain jika sebaliknya."

"Tapi Prith, anak itu kan bagian dari takdir Allah. Ada orang udah KB, eh tetap aja punya anak mulu. Itu gimana?"

"Artinya Allah yakin, dia mampu. Maka yang dipercaya ini harusnya mikir, apa penyebab dia merasa cukup (atas jumlah anak) sebelumnya? Karena keterbatasan ekonomi kah? Tenaga kah? Support system, atau apa? Segera perbaiki hal itu. Misal yang kondisi fisik kurang baik, sering sakit, boleh jadi Allah kasih itu untuk merekatkan hubungan antar keluarga. Jadi suami dan anak-anak sebelumnya ikut berperan dalam pengasuhan bayi. Atau terkait kondisi ekonomi, bukan gak mungkin Allah tau bahwa orangtuanya punya potensi mencari rezeki yang besar dengan bakatnya, tapi dia gak pernah eksplor. Atau Allah tau bahwa ada anak yang kelak akan membawa perubahan baik dalam keluarga ini, dan itu si bungsu yang sebelumnya nggak diharapkan. Dan alasan lainnya, pasti ada hikmahnya. Kaya isterinya Nabi Zakaria 'alaihissalam. Baru punya anak di usia senja. Mana ada beliau komplain, Ya Allah hamba minta anak dari pas muda belia, kok baru dikasih sekarang pas udah tua? Repot banget!"

"Jadi kita boleh membatasi, tapi harus tetap menerima jika Allah takdirkan punya lagi ya?"

"Nah itu bener, selama kita ngaku sebagai hamba-Nya yang beriman. Ini termasuk beriman pada Qada dan Qadar. Beriman ini sepaket antara yakin dan bersedia memaksimalkan ikhtiar. Bukan cuma yakin tapi gimana entar."

Obrolan kami berlangsung cukup lama, bahkan biasalah ibu-ibu nyambung kesana-kesini. Tapi intinya kurang lebih demikian.

Penjelasan ini tentu berasal dari sependek pemahaman saya. Sangat boleh jika ada yang berkenan mengoreksi dengan cara yang ahsan.


Salam hangat, 

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?