Skip to main content

Menyuapi, Mengukir Kenangan

"Kalian laper apa doyan? Dua porsi loh ini."

"Enak. Eh tapi bukan karena makanannya aja sih, tapi Bunda tau gak makanan paling enak tuh kaya gimana?"

"Makanan dapet beli?"

"Bukan, tapi makanan yang disuapin Bunda pake tangan. Itu eeenaaak banget!"

Hahaha masya Allah Tabarakallah...

Kalau sebagian orang membiasakan anak-anaknya mandiri, dimana salah satunya dengan mengajarkan makan sendiri sedini mungkin, saya agak beda.

Diajarin sih iya. Tapi adakalanya, eh belakangan cukup sering sih ... saya memilih untuk menyuapi ketiganya dalam satu piring besar.

Dan iya nambah-nambah. Di piring pertama saya siapkan separuh porsi masing-masing. Biasanya kurang, tuh. Yaiya kan cuma setengahnya. Habis itu nambah setengah lagi, lagi dan lagi. Kalau dihitung-hitung anak-anak bisa makan 1,5-2 kali lipat dibandingkan dengan kalau mereka makan sendiri.

Tanpa mereka sadari 🤭

Dan biasanya tiap suap saya selipkan doa.

"Si calon dokter pinter!

"Calon ulama besar!"

"Calon ahli IT terbaik negeri ini!"

Buat ibu dengan anak-anak yang kecilnya pada susah makan, ini prestasi tersendiri, alhamdulillah.

Tapi yang terpenting adalah, saya ingin mengukir kenangan di hati mereka. Kelak saat mereka dewasa, ingatan tentang seporsi bertiga nambah-nambah ini, akan selalu muncul, bagai iklan-iklan pop up.

Entah saya masih ada atau tidak saat itu.

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru