Skip to main content

Before the Seasons Out of Time



"Pernah gak sih marah sama anak?" Beberapa kali saya dapat pertanyaan seperti itu.

"Ya pernah lah, kan saya bukan Umma-nya Nussa Rarra."

Terutama anak yang ada di foto ini, kayanya paling sering kena marah. Iya, soalnya umurnya paling banyak dibanding dengan saudara-saudaranya. Otomatis itu, termasuk kena limpahan sayangnya juga lebih banyak.

Anak ini 'bandel' dalam artian akalnya banyak. Orang kalau nggak ngerti dia, akan berpikir aneh sama ide-idenya. Tapi kalau ditelusuri, saya bisa menyebutnya brilian. Emang sih jalannya muter-muter, tapi sesuatu yang jarang terpikirkan oleh kami.

Kurang sabar aja, bisa bikin berantem tiap hari. Mana ngototan lagi anaknya, duh!

"Kenapa baju kamu kotor banget? Padahal temen-temen kamu nggak segitunya?" Pernah saya tanya dia sepulang outbound dengan sekolahnya.

"Disuruh guru, Bun. Pas lewat rintangan, harus guling-guling di tanah. Yang jijik-an nanti katanya ditambahin kotornya. Ya udah daripada dikotorin orang lain kan mending main kotor-kotoran sendiri. Eh taunya yang jijik-an gak bener-bener ditambahin kotor, nge-prank doang."

Inhale ... Exhale ...

Flashback ke belakang sekitar kelas 1-2 SD, "Kepala sekolah cerita kalau kamu kabur dari kelas tiba-tiba. Dikejar malah tambah kencang larinya. Mau ngapain?"

"Kemarin kata mas A, sapi (apa domba ya? saya lupa) di kandang ada yang mau melahirkan. Gaza tiba-tiba inget, trus Gaza ke kandang deh. Pengen liat bayi sapi."

(Fyi, dia sempat di sekolah alam, yang lahannya luas. Di belakang ada ponpes dan peternakan, dan dia akrab dg kakak2 santri).

"Ya kenapa gak izin?"

"Kalau bilang bisa ditanya-tanya dulu. Lama, keburu sapinya lahir. Eh ternyata pas Gaza kesana juga emang udah lahir, dari pagi katanya." Wajahnya kesal.

Dalem hati, apa pentingnya sih liat bayi sapi (atau domba)? Tapi buat anak 6-7 tahun yang kinestetik-visual cara belajarnya, ya sepenting itu.

We had joy, we had fun, we had seasons in the sun
But the hills that we climbed were just seasons out of time ...

Suatu saat nanti mungkin saya akan menyanyikan itu, jika masanya tiba anak ini tak lagi akan menemani keseharian. Terbang untuk menggapai cita-citanya, membangun sarangnya dan keluarganya.

Tapi sekarang, alhamdulillah Allah masih izinkan bersama setiap hari, dengan segala keluguan di balik keras kepalanya.

Di 13 tahunnya.

Barakallah Bang, terimakasih sudah memberikan begitu banyak pelajaran baru.

#Latepost 5 Desember 2022

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru