Skip to main content

Kematian itu Dekat, Tanpa Tapi




Seorang sahabat mengabarkan suaminya yg baru selesai operasi pengangkatan batu empedu. Sahabat lainnya mengabarkan, suaminya baru melewati masa kritis karena pembengkakan jantung.

Peluk kalian smuaa ❤❤
Nggak mudah mendampingi orang terdekat di rumah sakit dalam kondisi yang sangat tidak baik-baik saja. Tetap ada di samping, melangitkan doa terbaik, bertumpu hanya pada Rabb Sang Pemilik jiwa. Dimana batas antara hidup dan mati sangat tipis.

Padahal sejatinya, tak perlu tunggu sakut parah atau masuk ICU untuk bisa merasakan batas itu. Tak terlihat tapi nyata, ada dalam setiap aktivitas kita.

Ada jalanan yang sebelumnya lengang, eh tiba-tiba pas ada yang di situ, truk oleng menyambar belasan kendaraan di depannya.

Ada rumah yang sebelumnya nyaman damai sentosa, eh pas pemiliknya agi bersantai tiba-tiba Allah beri goncangan gempa, lalu luluh-lantaklah.

Ada raga yang senantiasa menjaga sehatnya dengan makanan bergizi dan olahraga teratur, eh tanpa gejala apa-apa, Allah hadirkan silent killer masalah jantung padanya.

Iya, mati nggak pandang usia, tempat, kadar fit.
Saat sudah tiba takdir-Nya, maka tak satupun bisa mencegah kedatangannya.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Semua yang bernyawa akan kembali pada Allah.

Pembedanya hanya amal. Mereka yang terbiasa kerjakan amal shalih, akan diwafatkan dalam kondisi mengerjakan amal itu. Sebaliknya, mereka yang terbiasa berkubang dalam mak siat, begitulah Allah wafatkan.

Mak siat itu apa? Ya macam-macam. Bagi saya yang terbiasa menulis, mak siat itu misalnya menulis tentang yang Allah tak setujui, dilarang dalam Al Qur'an.

Mau berdalih, "Ini fiksi kok, jadi ya gapapa nulis apa aja."

Tetap gak bisa. Memangnya Allah bisa diakali?

Semoga kita semua bisa meraih husnul khatimah.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

#Latepost 21 Desember

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya