Skip to main content

Umroh/Haji Bukan Sekadar Perkara Uang




Dulu saya agak nggak percaya kalau ada orang yang bilang, ke tanah suci itu yang penting niat!

Yakali niat doang?
Kan harus bayar. Bukan cuma ongkosnya, tapi segala rupa printilannya mulai dari paspor, visa, vaksin dll.

Sampai ketemu beberapa temen yang (mohon maaf) saya tau kondisi keuangannya. Mereka bukan orang berlebih. Adakalanya gaji habis sebelum waktunya. Ya kaya kebanyakan kita aja.

Kita? Kamu kali, Prith?
Oiya, saya ding.
Intinya ya gitu lah, paham kan ya?

Yang pertama temen saya cerita, dia dipanggil sama atasannya di kantor. Ditanya paspor ready apa nggak? Dia ngangguk aja, dipikir bakal ada penugasan ke luar negeri.

Nggak taunya, "Tanggal sekian harusnya saya umroh tapi karena satu dan lain hal, saya nggak bisa pergi di waktu itu. Nggak tau uangnya bisa balik atau nggak, tapi daripada saya ribet, tiketnya buat kamu aja."

Teman saya pun mematung di ruang sang atasan. Saking nggak tau mau bilang apa. Baginya, jutaan kata makasih juga rasanya nggak bakalan bisa membayar kebaikan sang boss.

Di lain waktu, ada lagi temen saya cerita. Sepulang umroh dia baru ngomong. Pas saya nanya, "Ajarin gue caranya disiplin nabung buat umroh, dong?"

Dia ketawa, "Gue nggak pernah nabung umroh, Prith. Meski gue pengen banget. Gaji yang gue sisihkan buat umroh, ada aja kepakenya buat nolong keluarga yang memang kekurangan (keluarga tuh maksudnya saudara2 dia, karena saat itu seingat saya, dia blm nikah).

"Trus lo bisa umroh, gimana?"

Bercerita lah dia, bahwa ini pemberian dari orang shalih, kawan dari orangtuanya rahimahullah. Beliau merasa sangat kehilangan pas orangtuanya berpulang. Belum membalas budi atas kebaikannya katanya. Jadi sebagai ganti, dihadiahkanlah umroh untuk temen saya itu.

Dan lainnya. Setelah itu seolah berturut-turut kisah tentang 'Umroh Gratis' saya dengar baik dari teman ataupun cerita di medsos.

Saya akhirnya terinspirasi. Bukan ngarep gratisan, enggak tentu saja. Toh saya dan suami insya Allah masih punya kemampuan untuk menabung. Kami lalu berhitung, kalau sebulan mengalokasikan sekian, kemungkinan dalam jangka sekian waktu akan bisa berangkat. Kamipun mulai menabung lagi pasca menguras tabungan untuk mendaftarkan anak SMP.

Okesip bismillah, semangat!

Tapi di pertengahan jalan, saya merasa ada yang salah. Gara-gara nabung umroh, kok saya jadi agak pelit ya? Yg biasanya bisa ngasih kesini atau bisa beli dagangan si anu, sekarang cukup banyak terpangkas.

Di sisi lain hati, kan ini buat umroh? Kalau nggak disiplin, kapan cukupnya?

Di tengah dilematis itu, kami berturut-turut dapat ujian yang menggerus tabungan. Waktu semakin berjalan. Baru satu seat yang lunas. Eh nggak ding, itupun masih kurang sedikit. Suami sampai bilang, "Bunda ada amanah berbagi ilmu. Kalau uang kita nggak cukup, tetaplah berangkat meski nggak sama aku."

Saya nangis. Perih deh rasanya.

Dalam doa, saya minta ampun banyak-banyak sama Allah. Pasti ini ada yang salah. Allah udah kasih jalan buat kami pergi, dengan berbagai kemudahan yang ada, eh kok malah gini?

Akhirnya saya inget perkara 'mendadak pelit'. Yaudahlah bismillah, saya potek2 tabungan untuk dibagikan kesana dan kesini. Beli2 di si A, B, C.

Ucapan-ucapan terimakasih serta doa yang mendalam dari mereka, saya masukkan ke dalam hati, saking ademnya. Semoga Allah ridha.

Dan ya, keajaiban Allah pun datang satu demi satu. Ada rezeki tak terduga yang cukup besar, hingga kami bisa melunasi dua seat dalam waktu relatif cepat, setara rencana alokasi tabungan beberapa bulan.

Nggak cuma itu, ada kemudahan lain dari seorang baik hati, yang mengizinkan kami bayar berapapun untuk satu seat lagi, hadiah untuk si sulung.

Masya Allah tabarakallah...

Ya Razzaq, Ya Rahman, Ya Rahim!

Saya kehabisan kata. Teringat teman-teman saya dengan cerita pengalaman umrohnya yang tak membayar sepeserpun atau hanya separuhnya. Oh gini kali ya perasaan mereka saat itu?

Tulisan ini saya buat, demi Allah bukan untuk riya atau ujub. Sampai saat ini pun saya masih mengemis ridha-Nya agar memberi kami kesehatan dan panjang usia hingga hari keberangkatan. Diberi kekuatan dan kemudahan untuk bisa menjalankan ibadah dan dilancarkan lisa  untuk bisa berbagi ilmu di sana. Lalu pulang dg selamat, membawa hikmah mendalam, untuk bisa dibagikan lagi di tanah air.

Terimakasih untuk Ibu Nuryani Suluh dari #JannahFirdaus Tour n Travel dan Teh Kiki Barkiah atas kepercayaannya mengundang saya sebagai pembicara.

Terimakasih untuk teman-teman yang kirim ini itu buat melengkapi keberangkatan saya bulan depan. Makasih tips2nya untuk umroh. Kalian baiik! Allah yg balas yaa.

Terimakasih untuk doa semuanya buat kami, yang kita smua nggak pernah tau, milik siapa yang melesat mendobrak langit lebih cepat. Semoga Allah hadiahkan surga kelak.

Kita smua bisa ke Tanah Suci, yang penting yakin aja dulu.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru