Skip to main content

Cara Kece Menegur Anak Saat Berbuat Salah


"Bundaa ... Sakiit, periih!" Teriakan anak gadis lantang sejak dari teras malam itu. Ia memasuki kamar, tempat saya beristirahat sejak sehari sebelumnya.

Sebentuk luka bakar lengkap dengan bau asapnya, ia tunjukkan pada saya. Wajahnya tampak menahan sakit.

"Ade kena api, tadi main kembang api. Pas kembang apinya abis, Abang sama Aa sama temennya main bakar-bakar kertas sama daun. Trus Ade ikutan. Eh tangan Ade kena api."

"Kita obatin ya?"

"Gak mau, periih! Pake plester aja."

"Iya tapi diobatin dulu, yuk?"

"Pake apa?"

"Obat dari Allah, air."

Saya ajak ia ke kamar mandi, lalu saya pegang jarinya di bawah aliran air keran. Pertama-tama sih dia jerit-jerit, tapi setelah semenit pertama sudah bisa menikmati dinginnya. Sambil saya ceritakan bahwa dengan begini, bakterinya pergi.

"Banjir bandang kalau buat bakteri?" Dia bertanya dg mimik lucu."

"Mungkin."

Setelah sekitar 10 menit, saya lap lukanya, ditiup sambil didoain. Anak gadis sudah cukup tenang.

Tapi masalah belum selesai. Masih ada dua 'tersangka' yang harus bertanggungjawab. Iya, kakak-kakaknya, siapa lagi?

Dan mereka kayanya udah tau bakal dimarahin. Saling tuduh siapa yang lebih dulu main api.

"Siapa yang main Kembang api?"

Keduanya mengaku.

"Siapa yang bakar kertas?"

"Bilal duluan," tunjuk si sulung.

"Tapi Abang yang nyediain kertasnya," sanggah si nomor dua.

"Gaza udah bilang, udahan aja mainnya, tapi adek-adek pada gak nurut."

"Lah kenapa Abang gak masuk duluan?"

"Ya kan Abang beresin bekasnya dulu."

"Bohong, pasti mau main lagi sama temen-temen, yakan?"

"Nuduh!"

"Emang iya!"

"Stop! Sekarang siapa mau tanggungjawab atas luka di tangan Nailah?"

"Abang lah."

"Enak aja! Kamu ikutan main!"

"Bilal cuma ikut Abang."

"Siapa suruh?"

"Ya kaan ..."

"Udah salah kalian berdua." Saya memutuskan.

"Lagian tadi udah dibilangin, Nailah gak usah ikut. Ini mainan anak yang udah gede." Si nomor dua mulai coba mencari alibi dari perkara tanggungjawab.

"Menurut kamu, Nailah mau nurut dibilangin gitu?"

"Ya salah dia gak mau nurut."

"Oya? Pernah tau artis terkenal dari luar negeri gak? Yang terkenal banget, siapa menurut kalian?"

Keduanya termenung. Mereka memang kurang familiar dengan nama artis.

"BTS." Akhirnya jawaban itu keluar.

"Pernah nggak BTS datang ke Indonesia?"

Keduanya mengangguk.

"Fans-nya gimana? Nyamperin mereka atau anteng aja?"

"Ya disamperin lah. Konsernya, hotel tempat nginepnya, malah ada yang datang ke bandara dari pas pesawatnya datang."

"Mau ngapain?"

"Kan ngefans."

"Kalau dibilangin, jangan datang-datang dong. Bakalan nurut gak?"

"Enggak lah, orang ngefans."

"Pas udah dateng, ngapain?"

"Minta foto bareng, tandatangan."

"Kalau disuruh jangan deket-deket fotonya, nurut nggak?"

"Nggak, pada pengen paling deket."

"Kenapa?"

"Ngefans."

"Nah itu dia, adek kalian itu Ngefans berat sama kakak-kakaknya. Kalian main sepeda, ikut. Kalian ke masjid, ikut. Mau dibilangin kalau anak perempuan shalatnya di rumah, ya tetep aja kalau pas Bunda lengah, dia kabur ikut."

Semacam video time-lapse, saya melihat ada perubahan rona wajah dari yang takut dimarahi, tegang saling menyalahkan dan membela diri, melotot satu sama lain, perlahan heran, lalu sedikit tersipu.

Saya melanjutkan, "Kalian harusnya bersyukur dikagumi banget sama adik. Bayangin kalau dia nggak suka sama kalian, apa artinya kakak? Dia gak pengen nurut sama kalian. Gak pengen ikut-ikut. Gak pengen niru. Ah bodo amat, kalian dianggap gak ada. Mau kaya gitu?"

Keduanya menggeleng pelan.

"Nah!"

"Ya tapi kan kita gak bisa jagain dia terus. Kalau jatoh, kita dimarahin. Kaya tadi kena api, kita juga yang salah."

"Ya terus Bunda nyalahin siapa? Kan memang kalian yang harusnya jaga dia. Artis-artis juga security-nya berlapis, supaya jangan sampai dic akar fans-nya. Sama kaya Nailah, anak perempuan masih kecil, harus berlapis juga. Tapi saat ini Bunda sakit. Pengamanan yang paling diharapkan ya dari kalian. Masa sih laki-laki berdua gak bisa jagain perempuan seorang?"

Mereka diem, masih liat-liatan sambil ngasih kode nyalahin sih.

"Udah sekarang samperin adiknya, minta maaf."

"Buat apa?"

"Karena kalian lalai jaga dia."

"Ih ..."

"Ayo, laki-laki harus berani minta maaf kalau salah. Gentle."

Lalu dimulai dari si sulung, nyalamin adiknya dan ngasih wejangan, "Lain kali gak usah ikut kalau Abang main api. Liat aja dari pagar."

"Bukan gitu harusnya, gak usah main api sekalian, gak ada gunanya." Saya nyela.

Lalu si nomor dua, dia sih gak pake nasehat apa-apa, salaman aja. Takut diselak juga kali.

Hufft, sekali lagi saya lulus marah, insya Allah tanpa nyakitin perasaan mereka. Nggak mudah, semua ini dipelajari. Saya tau bahwa di waktu-waktu sebelumnya, entah berapa kali marah yang nggak proporsional itu bisa banget nyakitin mereka. Kadang masih keceplos juga sih. Seiring jalannya waktu, pelan-pelan smua diperbaiki.

Sebagai ibu, kita memang gak sempurna. Tapi, emang mau jadi Ibu yang gak punya keinginan jadi lebih baik setiap harinya?

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru