Skip to main content

Hadiah dari Allah




"Bunda, uangnya udah cukup belum untuk kita umroh sekeluarga." Si nomor dua bertanya pada saya beberapa waktu lalu.

Saya menggeleng pelan. Nyaris cukup untuk membawa salah satu, tapi saya dilema, siapa yang harus diajak?

Keduanya ingin. Sangat ingin.

Lalu saya bicara dengan mereka satu persatu.

Si nomor dua menangis, memohon agar ia yang diajak.

"Please Bunda, Bilal udah berdoa setiap hari, murojaah, tilawah, dzikir diperlama ..." Beragam amalan ia data.

Iya bener, anak itu selalu bersungguh-sungguh saat memohon Allah izinkan umroh. Bahkan tak jarang sampai menitikkan airmata. Kuat keinginannya untuk mengunjungi Baitullah.

Di waktu berbeda, saya berbicara dengan abangnya.

Ia diam agak lama sebelum menjawab. Tarik napas panjang, "Bun, kalau ada uang lebih, bawa aja Bilal. Dia tuh pengen banget kesana."

"Kamu nggak pengen?"

"Ya pengen lah, siapa yang nggak mau liat Kabah? Tapi inget-inget deh, Bilal tuh sampe sedekah ke pemulung aja, minta doa supaya Allah undang umroh. Biarlah Gaza di sini jaga Ade. Doain dari sana, biar Gaza juga bisa kesana. Mudah-mudahan bisa bayarin Bunda, kesana lagi."

Masya Allah Tabarakallah...

Saya istikharah.

Sampai akhirnya hal tak terduga datang, sebuah ujian kesehatan untuk salah satu dari kami, yang butuh waktu tak sebentar dan dana tak sedikit untuk pulih.

Rencana kami berubah arah. Dana yang ada, otomatis dialihkan kesana. Kami sekeluarga berpelukan, menangis, saling dukung menguatkan.

Yakin, ada maksud Allah di balik semua ini. Pastinya yang terbaik. Kami hanya perlu percaya bahwa ini takdir terbaik, lalu berjuang sekuat tenaga menghadapinya.

Kami, terutama saya, mencoba tertawa di tengah perih. Menari dalam pilu. Berdzikir dalam setiap hela nafas.

Hingga akhirnya ...

"Kurang berapa untuk umroh?" Seseorang bertanya.

"Banyak."

"Bawalah si sulung, paling pas untuknya saat ini."

"Masih ada yang lebih urgent untuk beberapa waktu kedepan."

"Daftarkan saja dengan dana yang ada, sisanya Allah yang lunasi."

"Adanya cuma segini. Gak mau ngutang."

"Oke, saya yang urus, lunasss! Salam untuk Abang shalih."

Masya Allah. Saya diam. Betapa kejutan Allah sungguh-sungguh tak terduga.

Saya sempat bingung bagaimana menyampaikan pada adiknya. Tapi lagi-lagi Allah menunjukkan kuasa-Nya dalam membolak-balik hati hamba.

"Pergi aja ajak Abang. Bilal minta dibelikan mainan X aja buat nanti di rumah, boleh?"

Saya mengangguk. Mainan yang insya Allah terjangkau oleh kami.

Dan malam ini, dalam perjalanan pulang dari Bandung, hati saya masih bergemuruh penuh syukur.

Bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan.

Alhamdulillah, terimakasih ya Rabb.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🕋

Masih ada bbrp seat utk Umroh Edutrip 5-14 Januari 2023 nanti insya Allah, sila japri yg mau ikut 😊

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru