Skip to main content

Mulutmu Harimaumu

Amarah itu tak terelakkan lagi...

Saat kamu ngotot meminta sesuatu yang sudah kita sepakati sebelumnya, lalu menatap tajam ke arah Bunda sambil berkata,

Memang ada masalah?

Ada, kamu yang bermasalah!
Jerit Bunda, yg mungkin bisa terdengar dalam radius ratusan meter.

Ya Allah astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah...

Dari mana kamu dapat kalimat ajaib seperti itu, Abang?

Enggak dari mana-mana.
Jawabmu santai.

Teman?

Nggak.

Bunda?

Nggak.

Tivi?

Dan kau menggeleng untuk ketiga kalinya.

Lantas kenapa kamu jawab begitu?

Ya gak apa-apa.

Taukah kamu Bang, bahwa itu sangaaat tidak sopan dan bisa memicu orang melakukan kekerasan terhadapmu.

Kenapa?

Kembali Bunda mengurut dada. Ya Allah, tenangkaaan..

Tadi kamu lagi nego konsekuensi yang kita sepakati kan? Bunda bilang tidak, karena memang Bunda sudah menghitung itu dengan seksama. Konsekuensi atas pelanggaran yang kamu lakukan sudah kita sepakati sebelumnya.

Kamu melanggar jam bermain hingga Maghrib, sampai lupa mandi, bahkan tak pamit. Sehingga Bunda dan ayah tidak tau kamu kemana. Eh ketemu di mushala. Kucel mau solat Maghrib. Kenyataannya? Itu pun tak khusyu, bercanda dengan teman lainnya. Konsekuensinya, kamu sudah tau bahwa itu akan berakibat dicabutnya izin main antara 1-2 pekan. Untuk apa? Supaya kamu belajar ulang tentang disiplin waktu.

Lalu kamu nego dan tak berhasil. Kalimat suoer mengesalkan itu pun kau ucapkan.

Bang, pernahkah kamu mengatakan ini pada orang lain?

Tidak.

Bagus, karena kalau orang lain kesal dan kamu dipukul karenanya, itu bukan sepenuhnya kesalahan orang itu. Dia kesal, wajar. Dan akan sulit bagi Bunda untuk membelamu.

Kamu terdiam.
Ya memang sudah seharusnya demikian. Tak perlu menambah rumit keadaan dengan ucapan lain yang tak perlu.

Bunda lalu beranjak,
Pikir ulang kalau mau bicara. Kamu tau nak, pernah ada seorang pejabat di negeri ini bisa dituntut oleh jutaan orang karena ia tak bisa menjaga mulutnya. Karena omongannya menyakitkan.

Dipenjara?

Ya.

Hening. Kita diam berdua.

Hingga tangis Nailah memecah sepi. Lalu Bunda tersadar bahwa masih banyak yang harus dilakukan.

Allah, kali ini tak ada waktu bagiku untuk sesaat diam dan merenung atas kemarahan yang baru saja terjadi. Sebuah kemarahan hebat.

Allah, tentu saja aku menyesali bahwa sudah sedemikian hebat syaithan menguasai hatiku sehingga amarahku bs demikian dahsyatnya.

Ampuni aku Ya Ghaffar..

Dan kita, Bang... Masih saling diam hingga puluhan menit berlalu.

Entah apa yang kau pikirkan. Bunda hanya ingin memastikan bahwa Bunda tetap mencintaimu, melebihi cinta yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada.


Penuh cinta,
Bunda

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?