Skip to main content

Si Paling Menderita


Beberapa waktu lalu si sulung curhat tentang kelakuan ponselnya yang mulai aneh.

"Suka buka aplikasi sendiri, Bun. Trus suka tiba-tiba wa call ke siapa gitu. Pernah ke temen Gaza, perempuan. Kan Gaza gak enak, dikira beneran nelponin dia."

Wajar, HP android itu emang udah lama. Dulu punya saya, beli sekitar 5th yg lalu. Sejak SMP dan banyak pengumuman yang disampaikan via wa dan sesekali harus dibawa untuk keperluan belajar, maka HP itu saya hibahkan padanya.

Dia sih gak masalah selama masih bisa berfungsi baik. Cuma sesekali ada cerita tentang HP apel kroak seri baru atau HP lipat milik teman-temannya. Kode, dia pengen. Tapi nggak berani minta, hehe!

"Mungkin karena udah jadul. Ada nggak HP baru yang murah aja?"

"Jangan dulu HP lah, Bang. Kan mau ganti laptop yang lebih ringan, biar tasnya nggak terlalu berat. Satu-satu." Saya bilang gitu ke dia.

"Lagian belum jadul amat itu mah," timpal ayahnya.

"Belum jadul gimana, Gaza doang yang kamera HP-nya cuma satu, yang lain berderet banyak."

Dalem hati pengen bilang, 'Masih mending ada kameranya. Dulu pas kuliah, saat temen-temen udah bisa foto-foto pake HP berkamera, Bunda masih pake HP sirip hiu yang gede dan berat. Sampe dibilang, tuh HP kalo dipake nimp*k maling, bisa masuk UGD.'

Tapi urung, gak terong to terong rasanya.

Nah, enggak demikian dengan ayahnya. Yang langsung aja nyeletuk, "Mending, Bang. Ayah dulu awal kerja, masih pake HP jadul. Padahal ayah kerja di bidang telekomunikasi. Orang-orang udah pada ada kameranya, Ayah doang yang belum."

Si sulung menatap saya, "Kenapa sih Ayah mah suka adu nasib paling menderita?"

Saya ngikik.
❤️

Buibu, PakBapak ...
Sungguh nggak ada yang salah dengan menceritakan masa-masa perjuangan kita pada anak. Tapi ada S&K nya.

1. Jangan dipakai untuk meng-counter saat ia curhat akan kesusahannya. Karena itu bisa bikin dia merasa payah. Alih-alih langsung membandingkan, baiknya petakan masalah dan validasi perasaannya.
Misal : "Jadi app nya suka lompat-lompat? Wa-nya nelpon sendiri? Udah dicek memory-nya? Mungkin kepenuhan. Atau scan virus." ➡️ Ini bagian Ayah
"Kamu bete ya? Sini peluk sama Bunda." ➡️ Ini bagian Ibu

2. Tunjukkan prestasi untuk memotivasi
"Bang, tau gak dulu Bunda pake HP jadul sebelum ini, bisa nulis buku lho. Bisa ngeblog juga. Jadi meskipun jadul, tapi banyak jasanya. Nah HP kamu sekarang lebih keren, Bunda yakin deh kamu bakalan lebih produktif, gak cuma buat main games."
⬆️ Tentu saja itu obrolan sangat singkat, sila dimodifikasi untuk jadi satu percakapan yang asyik sama anak. Intinya, beritahukan pengalaman kita di masa lalu yang produktif/berprestasi, untuk menyemangati ia meraih hal yang serupa.

3. Orangtua yang heroik
Menceritakan bagaimana cara memperoleh sesuatu dengan mandiri. Di waktu yang berbeda dengan saat ia mengeluh. Cari moment yang pas. Misalnya, saat akhirnya membawa HP tersebut untuk diservis, sampaikan, "Tau nggak HP pertama Ayah beli tahun sekian hasil nabung selama sekian bulan. Ayah nahan-nahan gak jajan, tuh. Bentuknya kotak bla bla bla ..." Sampaikan dengan seru, bukan dengan nada mengeluh.
➡️ Ini bisa menumbuhkan semangat untuk anak melakukan hal serupa, karena dia merasa bahwa orangtuanya baik-baik saja saat berkorban untuk mendapatkan sesuatu yg diinginkan.

Segitu aja dulu tips kali ini. Sila ditambahkan sesuai pengalaman masing-masing.

Contoh di atas terkait kasus ponsel error milik anak sulung saya. Bisa dimodifikasi untuk anak yang suka mengeluhkan makanan yang disajikan atau pelajaran sekolah yang sulit. Poinnya tetap 3 di atas.

Ingat, jangan terburu-buru ingin menasehati. Alih-alih menyadarkannya, nanti malah dapat predikat 'Si Paling Menderita.'

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap...

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu...

Gadget, Sahabat atau Musuh bagi Fitrah untuk Bertumbuh

  Bisa membersamai guru itu rezeki tak terkira. Tahun lalu, saya mengenal Bunda Roro. Eh, bukan, kenal mah udah lama, beberapa kali nonton videonya bersama sang suami, Ustadz Harry Santosa allahuyarham. Tahun lalu itu saat akhirnya saya memutuskan ikut kuliah #fitrahbasededucation dan #fitrahbasedlife selama 3 bulan (akhirnya sih extend karena berbarengan dengan Ramadhan) Kuliah yang mensyaratkan kehadiran 90% kalau mau dapat sertifikat, maka saya pun jadi rajin. Ya bukan karena sertifikat amat sih, sayang aja gak sih udah bayar, belajar, tapi disia-siakan dengan nggak serius? Saya pengen bisa menyerap ilmunya, biar bisa dipraktekin ke diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Faktanya, belajar #fitrah memang sulit menemukan kata akhir.  To know God (Ma'rifatullah) To do Good (Good life) And to Accept the True Knowledge (Ilmu - Kitabullah) Ilmu yang harus terus dipelajari dan diperbaharui sampai akhir hayat. Sore tadi saya berkesempatan membersamai Bunda Roro sebagai Host di sala...