Skip to main content

Perempuan Itu Lemah (Katanya)



Dua hari kemarin, saya ikut pelatihan Property Syariah di kawasan Cifor-Bogor, dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore. Demi apa? Otak yang tetap On menjalankan #KhadeejaProperty tentunya.

Perjalanan cukup panjang dari daerah Cibinong. Ada kali 45 menit pakai motor. Belum buka-tutup karena perbaikan jalan di daerah Atang Sandjaja yang lumayan makan waktu extra, bikin kaki berasa pegel banget.

Pas lagi dengerin materi sambil ngopi, tiba-tiba pintu diketuk. Masuklah seorang ibu dengan balita dalam gendongannya plus ransel laptop yang cukup besar digemblok di punggung.

Jujur, saya takjub. Badannya lebih mungil dari saya, tapi bebannya saya yakin lebih berat. Luar biasa masya Allah.

Kami sempat ngobrol sebentar karena sama-sama menempati tempat duduk paling belakang akibat datang telat. Sebelum akhirnya ia memilih turun lesehan karena harus mengASIhi bayinya.

Sesekali saya nengok ke belakang. Ia tampak tenang menyimak training sambil mengoperasikan laptopnya. Anaknya anteng main sendiri di sampingnya sambil nyemil beberapa kudapan yang sudah disiapkan. Ada termos air panas segala, lho! Mantep nih emak-emak.

Di jam ishoma saya menghampiri ibu itu, ngobrol buat dapet insight seputar gimana cara dia mendidik dan mengasuh anaknya, sehingga sang anak bisa demikian tenang dalam situasi yang-bagi anak saya terutama yang laki-laki, gak kondusif banget untuk bisa duduk tenang berjam-jam di usia mereka segitu (jelang 2th). Karena anak-anak saya kinestetik, dimana lari-lompat-salto-manjat-guling2, adalah keseharian mereka.

Tapi belum sampai pada obrolan inti, saya kembali dibuat takjub saat mendengar daerah asalnya: Ujung Kab Bekasi!

"Saya berangkat dari rumah jam setengah tujuh, Mba Pritha. Habis antar anak-anak yang besar sekolah, lalu ke stasiun. Ada transit, sampai akhirnya Stasiun Bogor, naik angkot, ojek ..." bla bla bla.

Artinya butuh 4,5 jam perjalanan untuk dia dan sang balita lucu itu untuk sampai di sini!

Masya Allah ...
Perjalanan terjauh saya bawa balita sendiri itu pas anak gadis jelang 2 tahun ke Bandung untuk menghadiri pernikahan seorang sahabat. Segitu tuh rasanya cape banget. Padahal di sana situasinya nggak se-monoton training ini. Banyak orang, pemandangan cantik, termasuk kolam ikan yang penuh koi (nikahnya konsep garden party).

Ngebayangin ibu dan anak ini, mereka kompak banget ya Allah. Ibunya sih terutama, tough banget. Tasnya yang kaya kantong Doraemon, segala camilan, baju ganti, termos dll ada smua. Termasuk laptop tentu saja.

Dan asli anaknya nggak rewel.

Saat kami ngobrol, beberapa orang bergabung. Seorang bapak bertanya asal si ibu. Pas mendengar jawabannya, dia spontan berkata, "Luar biasa ya emak-emak. Saya sanggup berkendara dari Malang kesini, tapi kalau suruh bawa anak apalagi yang masih sekecil ini, saya nyerah, Bu."

Ditimpali beberapa bapak lainnya. Masing-masing rata-rata membandingkan dengan keseharian mereka.

"Kerja seharian capek masih lebih gampang daripada momong anak, sambil mobile pula."

"Bener, nemenin konsumen survey dari pagi sampai sore juga kayanya lebih gampang  ya."

Dan pernyataan serupa lainnya.

Saya tanya pendapat suami. Dia sepakat dengan para bapak di sini.

"Secara tenaga gak terlalu capek sebenernya, meskipun gak santai juga. Tapi harus waspada terus, tiba-tiba ngilang taunya sepedahan gak tau kemana, ngoprek segala barang lah atau apa." Gitu kata suami saya.

Intinya capek psikis.

Oya itu cuma pegang anak-anak ya, belum termasuk pekerjaan domestik. Alhamdulillah suami saya mau turun tangan untuk urusan pekerjaan rumah. Bahkan dalam beberapa urusan, hasil kerjanya lebih rapi dari saya.

Saya lantas teringat postingan Ceu Windi Ningsih kemarin, perkara lelaki yang mer adang karena ada postingan yang menyebutkan daftar perilaku lembut Rasulullah pada isterinya.

Ada yang berpendapat nanti isterinya manja lah, ngelunjak lah dll.

Ada yang pengen isterinya juga kerja cari uang lah krn gak mau ditadahin terus gajinya, sementara sang isteri leyeh-leyeh ngurus anak doang di rumah.
(((Doang)))
Ada juga yang bilang, "Isteri Rasulullah tuh kaya, modalin Rasulullah dagang. Emang ada isteri sekarang gitu?"

Lupa lah redaksinya cem mana, tapi kurleb seperti itu.

Intinya di mata mereka, isteri itu lemah, gak punya daya, manja, maunya dimanja dan semacamnya.

Padahal, berapa banyak sih yang seperti itu? Justru yang saya kenal itu rata-rata sebaliknya. Para isteri tangguh yang sanggup mendaki gunung lewati lembah (gak usah dinyanyiin), untuk membantu suami menopang perekonomian keluarga. Gimana aja caranya. Mau bikin catering kek, olshop kek atau affiliate. Yang penting halal dan kalau bisa dikerjain dari rumah aka WFH.

Mereka kuat, sanggup melakukan apapun asal ... simak nih S&K nya:
Sang suami bisa memperlakukan mereka dengan baik, lemah lembut, mau bersinergi urusan anak dan pekerjaan domestik. Tanpa sungkan, gengsi atau merasa berjasa besar karenanya. Saling pengertian lah. Kan namanya juga rumahtangga, bukan rumah tetangga.

Jadi, ada yang masih berpendapat kalau perempuan itu lemah dan maunya cuma rebahan bermanja-manja? Think twice 😊

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷


Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru