Skip to main content

Empati yang Mulai Redup


"Kalau ada orang nangis cerita rumahtangganya, jangan terlalu diambil hati. Besoknya dia udah bucin, kamu masih emosi."

Beberapa kali tampak tulisan itu di newsfeed. Yang diiringi dengan komen-komen tertawa. Adakalanya disertai cerita pe galaman membersamai orang-orang yang menangis itu.

Yang nulis, perempuan
Yang komen, perempuan

Astaghfirullah ...
Astaghfirullah ...
Astaghfirullah ...

Terbayang kah teman, jika saat seorang perempuan menangis terkait permasalahan rumahtangganya, itulah titik nadir dalam hidupnya?

Tangisan yang ditahan selama bertahun-tahun atas nama kekuatan seorang ibu dan isteri. Atas nama keutuhan rumahtangga. Menjaga nama baik pasangan dan orangtua (plus mertua).

Perempuan itu membiarkan dirinya, fisik dan psikis hancur.

Hingga akhirnya, ibarat gadget, dayanya habis. Sayangnya, dia tak lagi punya charger, yaitu support system. Atau bahkan baterainya memang sudah lemah. Mentalnya sudah terluka dalam.

Sudah bagus dia berani speak up.

Kalau tidak speak up lantas depresi dan mengakhiri usia, sebagian orang lantas akan kembali berkata, "Gitu doang depresi, kurang iman."

Iya, memang secara teori orang depresi itu kurang iman.

Jangan protes dulu. Apa definisi iman? Percaya. Yakin dengan sebesar-besar keyakinan. Pada Allah, malaikat, Al Qur'an, Rasulullah, Hari Akhir dan Takdir.

Saat seseorang akhirnya mengalami gangguan jiwa karena tak berhasil menyelesaikan masalahnya, artinya keyakinan dia terhadap Sang Maha Pencipta minim. Setidaknya dia tak beriman pada ayat berikut,
"Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya ..." (QS. Al Baqarah : 286)

Tapi ... ada tapinya nih.

Kan memang keimanan manusia itu tidak stabil, terkait dia memiliki nafsu. Kadang meningkat, kadang menurun. Jika saat menurun dia menyadari itu dan meminta bantuan orang lain, lalu dia bertemu orang yang menyepelekan masalahnya, apa yang terjadi? Di situlah salah satu pemicu depresi, merasa diri tak punya arti. Tak berharga.

Jadi dosa kan?

"Tapi si X tuh lebay. Masalah kecil aja bisa jadi gede kalau sama dia. Drama queen. Besok-besok juga bucin lagi."

Ya betul, ada tipe orang seperti ini. Meski boleh jadi tidak sepenuhnya tepat. Mungkin bukan dia yang lebay, tapi komentatornya lah yang berempati rendah.

Bucin lagi?
Terpikir nggak kalau bucin itu merupakan penutup dari keadaan sesungguhnya yang remuk-redam. Bukankah kita familiar dengan kalimat, 'Pura-pura bahagia'?

"Banyak kok yang bilang dia lebay, memang begitu."

Jika demikian artinya dia memang butuh pertolongan. Mentalnya lemah.

Menertawakan atau mengabaikan bukanlah solusi. Rujuk ke ahli jika memang tak mampu menangani atau tak ingin terbebani. Dengan demikian, kita sudah menjadi pahlawan menyelamatkan mental seorang manusia. Melakukan hal itu, artinya menyelamatkan banyak hal. Jika yang ditolong seorang ibu, maka kita sudah menyelamatkan keluarganya, terutama anak-anaknya. Mencegah anak-anaknya dari berbagai gangguan jiwa yang berpotensi hadir.

Lihat, peluang amal jariyah lho!

Kalau ternyata terbukti perempuan yang menangis itu memang lebay, caper atau bahkan gimmick untuk mendongkrak sesuatu (salah satu cirinya, repetitif/kejadiannya berulang), maka abaikan. Tidak perlu di-up.

Kenapa? Bukan hanya untuk menutup aib sesama. Tapi lebih kepada menjaga hati dari merasa lebih baik dari orang lain.

Teman, kita mungkin 'beruntung' hidup di tengah keluarga harmonis, pasangan romantis serta kerabat dan sahabat yang humanis. Plus sokongan dana yang maksimalis. Hingga sulit untuk berempati pada sesama yang tak memiliki itu smua.

Namun sungguh tak perlu mengalami langsung untuk bisa paham artinya luka pada mereka yang ada di posisi itu. Cukup menahan ucap, menahan jari dari kalimat-kalimat yang berpotensi menambah luka.

Perempuan Allah beri fitrah kelemahlembutan, perhatian, kasih sayang, empati. Jika tak bisa mengaktifkan semua 'fitur' itu, maka coba cek hati, apakah koneksinya dengan Allah masih tersambung dengan baik?

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru