Skip to main content

(Jangan Jadi Ibu yang) Tampak Strong Padahal Kopong


"Ih mending kita ya, body guede jadi gak bakalan bisa diban ting," seloroh seorang ibu menanggapi peristiwa kadeerte.

"Duh yaampun syukur deh suamiku gak ganteng, tapi baik. Yang ganteng ternyata kasyaar," cetus yang lain.

"Makanya gosah post foto mesra sama suami, taunya dislengki gegara ada pel akor iri dengki." Beginilah kesimpulan yang lain.

"Cih, baru digituin doang, lapor pulici. Saya mah bertahun-tahun lebih dari itu, sabar aja." Penuh semangat lainnya menimpali.

Bu, sini peluk ❤
Saya tau kalau Anda sedang tak baik-baik saja, tersadari atau tidak.

"Ih sok tau, nuduh seenaknya. Emang situ cenayang?"

Bukan, saya ibu 3 anak yang belajar psikologi, jadi sedikitnya insya Allah paham karakter manusia terkait dengan sikapnya. Orang-orang, khususnya para ibu yang sehat mental, bahagia serta sibuk dalam ketaatannya pada Allah, tak akan sampai hati mengucapkan kalimat di atas.

Karena apa?
Ia sadar sepenuhnya bahwa pasangan yang kini mendampinginya adalah pilihan Allah. Mau ganteng atau ganteng banget (masa iya jelek ciptaan Allah?) Itulah rezekinya. Mau kaya atau berkecukupan, itu juga rezekinya. Mau kas ar atau lembut, sama itulah rezekinya.

Rezeki? Ujian kali?
Sama aja, Bestie. Suami ganteng ampun-ampunan pun ujian, yang boleh jadi bikin isterinya gak nyaman sebab setiap jalan selalu dilirik oleh banyak mata.

Suami kaya-raya juga ujian. Harus betul-betul yakin sumber harta halal atau tidak? Penyalurannya sudah sesuai kehendak Allah atau belum?

Kesadaran akan hal ini tak akan membuat mulut atau jempol para isteri nyeletuk yang enggak-enggak, melainkan lebih mengedepankan empati.

"Allah, jika benar demikian, semoga orang itu dikuatkan, rezekinya engkau tambahkan dan berkahi agar bisa sedikit menyenangkannya akan musibah yang menimpanya. Dan semoga Engkau jauhkan ujian itu dariku."

Selesai. Demikian jiwa-jiwa yang selalu sibuk dalam ketaatan merespon isyu tak sedap tentang seseorang. Jikapun bertindak dengan lisan maupun tangannya, maka yang keluar adalah bantuan. Misalnya melihat ke sekitar, jangan-jangan ada survivor kadeerte di sekitar tempat tinggalnya, atau sahabat dekat atau bahkan kerabat.

Nggak usah ditanya satu-satu, lihat saja mereka yang jika bertemu acapkali murung atau mereka yang tampak anti sosial. Dekati, temani, belikan makanan sesekali. Biasanya cerita akan langsung mengalir tanpa diminta.

Iya, segitu rapuhnya para perempuan yang tangki cintanya kosong. Saya pernah liat potongan video seorang artis yang mengaku jika disentuh bahunya oleh suami (sekarang katanya sudah bercerai, entahlah) dan ditanya, "Capek, Sayang?"
Maka bisa memancing tangisnya.

Iya, gitu doang. Kita yang punya suami perhatian, pengertian dan sederet sifat baik lainnya, mungkin gak akan relate. Kalau dibelai sambil ditanya begitu, boleh jadi jawabannya, "Makanya bantuin dong!" Atau, "Nanya doang, ajakin beli gorengan kek, tapi di Mekah, sambil nyimak sharing parenting ntar pas umroh bareng Teh Pritha awal Januari."

Eh maap, ada ik lan nyelip. Tapi nangkep kan bedanya, ya?

Cinta suami itu kaya aliran listrik, Bu. Nyetrum! Kalau suami rela mendengarkan keluh sampai semaput tanpa banyak protes, niscaya sang istri tak kan sempat curhat di medsos. Dia akan senyum sepanjang hari mengerjakan segara urusan domestik atau ngasuh anak-anaknya tanpa ngomel. Nyetrumin cinta suami, eh mengalirkan maksudnya. Bahkan badan pegal dan emosi labil gegara PMS aja bisa auto sembuh kalau suaminya demikian pengertian.

"Tapi saya nggak punya suami yang kaya gitu, Teh. Suami saya type yang cool bgt kaya es di kutub utara."

Didoain atuh, Bu. Sambil diusahain. Kitanya manja. Pernah nonton ceramah dr. Aisyah Dahlan? Mengubah tone suara saat bicara dengan suami, konon bisa mengubah sikap suami pada isterinya.

Ish ntar dikira centil? Ya gapapa kan suami sendiri. Jangan ke suami tetangga!

Bu, jangan sok strong padahal kopong. Sok kuat dan hebat padahal lembut macam ketupat.

Akui saja bahwa kita perempuan, fitrahnya lemah lembut. Kita perempuan emosinya lebih mudah tersulut. Kita perempuan yang bisa sedih kalau di wajah mulai ada kerut.

Kalau suami belum paham juga, ajarin. Pelan, jangan sambil ngomel.

"Pa, sedih banget deh aku nih mules PMS tapi yang Papa belai kok PS?"

"Ayah, aku sedih dighibah, tapi bingung mau cerita. Soalnya Ayah sibuk ngurus piranha."

"Abi, katanya Rasulullah suka becanda sama isterinya, betul? Kenapa Abi lebih suka becanda dan ketawa pas baca grup WA?"

Masih gak mempan?
Adukan pada Sang Pencipta di keheningan sepertiga malam, Bu. Karena saat Allah berkehendak membolak-balik hati manusia, janganlah tipe suami sedingin es di kutub, bahkan manusia dengan watak keras macam Umar bin Khattab pun berbalik jadi mencintai Rasulullah dari kebenciannya yang tak terkira.

"Tapi kita perempuan, kita kuat! Bahkan emak-emak konon adalah ras terkuat di muka bumi!"

Yakin?
Tiba-tiba suami wa, "Ma, aku kecelakaan. Ini di UGD dianter Melisa."

Kejang-kejang nggak, mikirin siapa itu Melisa?

Emang ada isteri yang gak kejang-kejang nerima kabar begitu? Ada sayang, ada! Mereka yang langsung teringat akan Tuhannya, akan auto dzikir. Perkara setelahnya langsung ke RS karena penasaran dengan sosok Melisa, itu lain lagi.

Kesadaran.
Itu yang harus dibentuk.

Caranya? Koneksi dengan Allah jangan pernah diputus. Yamasa sinyal wifi hilang kita bisa ngeh, tapi sinyal sama Allah hilang, masih bisa B aja?

Yakin deh, jika hari-hari kita senantiasa disibukkan dalam taat, gak bakalan sempat ngejulidin orang lain. Gak bakalan sempat ghibah, gak bakalan sempat juga bersyukur atas nasib baik di atas penderitaan orang lain.

Karena yang begini biasanya ada benang kusut dalam hatinya. Cawan cintanya kosong.

Berikan ruang di jiwa untuk menyadari adanya kesalahan yang sudah ditempuh. Pelajari lalu perbaiki agar tak terulang di lain waktu.

Berikan ruang lainnya untuk memaafkan segala perbuatan orang lain, yang pernah sangat melukai. Jangan buat lingkaran se tan dengan memupuk den dam dan hasrat meneruskannya baik pada yg bersangkutan maupun orang lain.

Akui saat kita sedang tak baik-baik saja. Menepilah, agar orang lain tak kena imbasnya.

Bu, ingat ... kita kuat karena Allah. Jika Allah tak ridha, maka hilang sudah. Kita bahkan akan lebih tak berdaya dibandingkan sesosok bayi mungil.

Maka mintalah selalu kekuatan pada-Nya. Kuat untuk menjalani hidup senantiasa dalam ketaatan. Dan kuat untuk mendukung sesama sebagai pengejawantahan tugas dakwah sebagai hamba.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?