Skip to main content

Etika Meminta Maaf (Saat Bersalah atau Tidak)

Setiap dari kita pasti pernah melakukan kesalahan. Wajar adanya, namanya manusia kan memang gudangnya salah. Yang terpenting adalah, bagaimana kita bisa meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, ya nggak?

Sayangnya masih ada orang yang belum bisa meminta maaf dengan baik.

Siang ini si sulung ditegur oleh ayahnya atas satu kesalahan. Dia minta maaf, tapi pakai 'tapi'. Yang tentu saja memantik 'ceramah' yang lebih panjang dari ayahnya.

Lalu dia curhat, "Apa salah Gaza, sih? Kan Gaza udah minta maaf."

Saya mengapresiasi sikap gentle-nya meminta maaf. Namun saya sampaikan juga bahwa caranya meminta maaf itu keliru.
💮

Etika terbaik meminta maaf adalah katakan maaf sambil menyebut kesalahan yang telah diperbuat, lalu selesai sampai di situ.

"Maaf, aku udah merusak mainan kamu."

"Maaf, aku belum bisa bayar utang tepat waktu."

"Maaf, aku mencintai isterimu."

Eh, maaf ... yang terakhir ngaco. Don't ever try this. Percayalah, bisa pecah perang dunia kesekian karenanya.

Intinya, mau ada alasan sebesar Gunung Uhud pun di balik kesalahan yang sudah kita lakukan, simpan saja untuk dijelaskan nanti saat situasi sudah membaik.

Perhatikan kembali contoh di atas. Kalau ada kalimat penyerta setelahnya, rasanya pasti lain.

"Maaf, aku udah merusak mainan kamu. Abisnya salah kamu sendiri punya mainan sebagus itu, kan aku iri."
➡️ Lah kenapa jadi pemiliknya yang salah?

"Maaf, aku belum bisa bayar utang tepat waktu. Lagian kamu kan kaya, masa sih masih ngarep uang segitu? Kamu gak kasian apa liat aku yang kerja banting tulang tiap hari, sampai kurus kering tapi penghasilan segitu-gitu aja? Empati dikit lah."
➡️ Bukankah dg minjemin uang artinya sudah empati? Kenapa juga jadi salah?
💮💮

Jadi ya minta maaf saja, sudah titik. Tak usah tambah koma dan bla bla bla. Kecuali jika ditanya.

"Kenapa kamu tega rusakin mainan aku?"

"Kenapa kamu belum bisa bayar utang?"

Jelasin, seperlunya aja. Gak usah playing victim.

Lantas anak saya bertanya, "Kalau kita nggak salah tapi dituduh dan dipaksa ngaku?"

"Misalnya?"

"Gaza pernah dituduh merusak barang milik orang lain. Padahal nggak tau. Eh temen lainnya malah maksa ngaku dan minta maaf, karena anak itu nangis."

"Ada saksi? Ada bukti?"

"Bukti nggak ada, tapi kata dia, temennya ada yang liat kalau itu Gaza yang rusakin."

"Kalau kamu merasa benar, bertahan aja. Bukan aku, bilang begitu."

"Dia gak percaya, tetap nangis. Temennya nyuruh Gaza ngaku dan minta maaf."

"Yaudah sampaikan empati. Aku ikut sedih barang kesayangan kamu rusak, tapi sungguh bukan aku yang merusak. Jadi maaf, mau dipaksa gimana juga, aku gak bakalan ngaku."

"Tetap minta maaf?"

"Iya. Untuk menegaskan bahwa bukan kamu pelakunya dg cara yang lebih sopan."

"Kalau tetap dituduh dan dipaksa ngaku?"

"Jangan mau. Kecuali kalau awalnya berbohong, harus ngaku."
💮💮💮

Meminta maaf memang tak mudah. Butuh jiwa besar untuk melakukannya. Tapi percayalah, melakukannya tak akan menjatuhkan harkat dan martabat. Macam para oknum pejabat. Jika tak mampu meminta maaf pada masyarakat, maka mundur akan lebih terhormat.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru