Skip to main content

Tikus Kecil dan Sepotong Matahari



#cerpen
Pritha Khalida 🌷

Tikus kecil menatap langit di pagi hari. Betapa bahagianya, matahari akhirnya muncul setelah berhari-hari ladang diguyur hujan lebat. Ia merasakan cahayanya menghangatkan bulu-bulunya yang basah oleh tampias air hujan di loteng gudang semalam.

"Ayah, matahari itu milik siapa?" tanya tikus kecil pada ayahnya.

"Kurasa tak ada yang memilikinya. Ia diciptakan untuk boleh dimanfaatkan oleh siapa saja di dunia ini."

"Dunia? Bola bersinar kuning itu bisa dimanfaatkan oleh seisi dunia?" Tikus kecil terbelalak tak percaya.

"Yang kutahu matahari itu sebetulnya besar sekali, jauh lebih besar dari dunia ini. Karena jauh, akan terlihat kecil. Makanya jika hanya untuk menyinari seisi dunia ini saja, ia pasti mampu."

Tikus kecil terpekur, memikirkan seberapa besar matahari? Bagaimana bisa ada benda yang demikian besar bisa diciptakan di alam ini? Sosok sebesar apa yang menciptakannya?

Ia hendak bertanya lagi, tapi ayahnya sudah pergi.
Tikus kecil berjalan menyusuri ladang jagung nan luas di dekat gudang tempat ia tinggal. Ia melompat satu langkah ke kiri, lalu ke kanan, ke depan, belakang dan berputar-putar. Ekornya bergoyang mengikuti gerakannya. Sesekali kepalanya menengadah ke langit.

Ada apa gerangan? Rupanya ia penasaran, apakah matahari akan tetap bisa menyinarinya jika ia berpindah tempat sesuka hati, tanpa memberitahunya terlebih dahulu?

Betapa takjub saat didapatinya bahwa matahari tak hanya mampu menyinarinya. Ia juga mampu membagi sinarnya untuk hamparan ladang jagung, kuda-kuda di kandang, sekelompok ayam yang sedang mencari cacing di tanah, bahkan barisan itik yang berjalan jauh di seberang sungai.

Terbersit di benaknya, alangkah baik kiranya jika ia bisa memiliki matahari barang sepotong kecil saja. Ia akan membawanya kemana-mana. Hari-harinya dijamin akan selalu terang. Bahkan mendung dan hujan boleh jadi tak akan pernah datang lagi di hidupnya. Ia tak suka hujan. Loteng gudang menjadi lembab karenanya.

"Kau ingin punya sepotong matahari?" Suara itu terdengar di telinganya.

Tikus kecil terkejut. Ia berputar mencari si pemilik suara. Sepi, tak ada siapa-siapa di sekitarnya.

Suara itu kembali bergema, "Sungguh kau ingin miliki sepotong matahari?"

"Aku tak melihatmu. Tapi jika itu pertanyaannya, maka ya! Aku ingin punya sepotong kecil saja. Bisakah kau memberikannya padaku?"

"Bisa, tapi apa kau yakin?"

"Tentu saja! Kenapa tidak?" Tikus kecil menjawab pasti.

"Nanti hari-harimu akan terang terus. Tak ada mendung, hujan ataupun gelap."

"Tak apa, bukankah terang itu membahagiakan?"

"Betulkah? Kau tak suka gelap?"

"Tidak, ah bukan ... Tepatnya aku tak suka hujan." Tikus kecil membayangkan tampias air hujan yang selalu membuatnya kedinginan di malam hari.

"Baiklah kalau begitu. Sekarang masukkan tanganmu ke dalam kantong celana. Di situ sudah kuletakkan sepotong matahari yang kau inginkan."

Meski tak percaya, tapi tikus kecil tetap merogoh kantong celananya. Wow, benar! Ada bongkahan kecil bersinar terang sekali. Betapa bahagianya ia. Terbayang sudah hari-harinya yang akan senantiasa benderang. Selamat tinggal gelap nan muram, dan tentu saja hujan yang dingin!

"Terimakasih ya!" Tikus kecil memekik gembira. Tapi tak ada jawaban. Suara tadi sudah pergi entah kemana.

Tikus kecil berjalan riang menuju gudang. Tak sabar ingin dibaginya harta berharga itu dengan ayahnya.

"Hmm ... Perasaanku tak enak dengan sepotong matahari itu," gumam ayahnya ragu. Tapi untuk menjelaskan, ia pun tak mampu.

"Itu hanya perasaan Ayah saja. Sepotong matahari ini akan mendatangkan kebahagiaan yang tak habis-habis." Tikus kecil meyakinkan.
***

Kenapa siang tak kunjung berakhir?
Ayah tikus keheranan saat ia merasa semestinya cahaya senja sudah merambat di angkasa. Rasa lelah membuatnya terlelap di bawah pohon.
Sementara itu di sisi lain ladang, tikus kecil sedang bermain riang dengan teman-temannya. Betapa bahagia, sudah lama tak ada yang menyuruh pulang dan tidur siang.

Waktu berlalu, ayah tikus terbangun. Ia terkejut karena panas tak kunjung hilang. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Anehnya, tak ada matahari di atas sana. Lalu dari mana panas berasal? Ada yang tak beres. Mengapa siang bisa selama ini?

Tiba-tiba ia teringat pada benda ajaib yang dimiliki anaknya, sepotong matahari! Jangan-jangan karena benda itu, maka malam tak kunjung datang? Ia berjalan menyusuri ladang, mencari anaknya. Dilihatnya tikus kecil sedang duduk sendiri di pinggir sungai.

"Sedang apa kau di sini?"

"Aku bosan, teman-teman sudah pulang sejak tadi. Padahal aku masih ingin main."

"Kau tak lelah?"

Tikus kecil menggeleng.

"Mana sepotong matahari tadi?"

Tikus kecil merogoh sakunya berulangkali, tapi nihil.

"Sepertinya terjatuh saat aku sedang main kejar-kejaran dengan teman-teman tadi. Memangnya kenapa, Ayah?"

Ayahnya tampak panik, "Kau harus menemukannya sekarang juga. Lalu kita kembalikan benda itu. Jika tidak ..."

"Kenapa?"

"Maka boleh jadi tak akan ada lagi malam."

"Dan hujan?"

"Kurasa begitu."

"Bukankah itu bagus? Kita tak akan terkena tampias lagi."

"Tidak, itu buruk. Pepohonan akan layu, kering dan mati karena matahari bersinar sepanjang waktu. Seelah itu seluruh makhluk akan ikut mati, karena tak ada lagi sumber makanan.”

Tikus kecil mulai memikirkan perkataan ayahya. Ya sih, ia juga sepertinya mulai lelah.

Maka dalam beberapa waktu, kedua tikus itu sibuk mencari sepotong matahari yang hilang. Mereka berencana mencari siapapun itu yang memberikannya. Jika tak ketemu, maka pilihannya adalah membawanya pergi jauh, menguburkannya atau apa saja agar ia tak lagi memancarkan sinarnya terus-menerus.

Tapi sepotong matahari itu tak kunjung dapat ditemukan. Anak dan ayah itu sudah sangat kelelahan. Lapar juga.

Tikus kecil mulai menyadari keraguan ayahnya mengenai kebahagiaan yang tak habis-habis. Ternyata terang tak selalu membawa kebahagiaan. Tikus kecil menangis. Kulitnya mulai memerah dan terasa perih, karena panas matahari yang tak kunjung reda seperti biasanya.

Suara itu tiba-tiba muncul lagi, "Bagaimana, apa kau suka dengan hadiahnya?"

"Tidak! Aku tak suka matahari yang tak henti bersinar."

"Mengapa? Tempo hari kau bilang ..."

"Tunggu, tempo hari katamu?" Tikus kecil menyela suara itu.

"Iya.”

"Bukankah ini masih siang?”

"Tidak, nyaris dua hari berlalu sejak aku memberimu sepotong matahari yang kau dambakan. Tapi karena mataharimu tak berhenti bersinar, maka tak lagi ada mendung atau gelap."

"Juga hujan."

"Bukankah kau memang tak menyukainya?"

"Aku salah. Rupanya kita semua memang membutuhkan mendung, hujan, gelap malam. Suka atau tidak. Cerah yang tak kunjung hilang, ternyata tak membahagiakan. Bisakah kau bantu aku menemukan sepotong matahari hadiahmu itu? Jika ada, ambillah kembali. Aku berjanji tak akan lagi memintanya."

Suara itu tak menjawab lagi. Tikus kecil menutup wajahnya. Tak tahu lagi harus bagaimana.

Tiba-tiba petir menyambar, mengagetkannya. Tikus kecil menatap langit, "Mau hujan!"

"Hey, bangun! Ayo bangun!" Suara Ibu membangunkannya.

Eh, lho?

"Tidurmu nyenyak sekali. Sudah pagi, ayo bangun."

"Pagi?Kemarin ada malam?" Tikus kecil mengucek matanya tak percaya.

"Bicara apa, sih? Tentu saja ada malam setiap hari. Aneh-aneh saja."

"Ah syukurlah!" pekik tikus kecil. Ia mengitari loteng gudang dengan gembira.

"Awas hati-hati!" Ibunya berteriak mengingatkan.

Tapi terlambat, tikus kecil terpeleset genangan air hujan karena tak hati-hati.

Nyaris saja ia berteriak mencela hujan, saat dilihatnya satu benda mungil berwarna kuning cerah di sudut loteng. Tikus kecil menutup erat mulutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?