Skip to main content

Sudut Pandang


 Apa yang kalian bayangkan saat lihat desain rumah seperti ini? 

Artistik?

Minimalis?

Keren?

Tidak ergonomis?

Sempit?

Atau ...

Bagi saya, rumah ini bagus. Tapi pas tadi liat di fanpage yang mempostingnya, nggak sedikit juga yang memiliki pandangan negatif, beberapa seperti saya sebutkan di atas.

Dulu saya suka kesel kalau ada orang yang setiap liat apapun, ada aja komentar negatifnya. Kok kayanya orang kaya gitu gak bahagia ya? Begitulah di mata saya yang seringnya liat apa-apa tuh bagus-bagus aja atau minimal, ya B aja.

Qadarullah salah satu yang begitu tuh Mamam (ibu saya) dan adik saya. Jadilah kami sering adu argumen karenanya. Lain kalau dengan Papap, kami sering toss karena sepakat akan satu hal.

Pas kuliah saya belajar satu alat ukur Psikologi yang namanya Tes #roarschach

Jadi kita akan diperlihatkan gambar-gambar abstrak dan terserah mau bilang itu gambar apa dan berpendapat gimana.

Seperti biasa, sebelum ngetes orang, kami antar mahasiswa disuruh mencobanya. Ada salah satu penilaian yang poinnya itu gimana cara pandang seseorang terhadap satu masalah, secara keseluruhan atau perbagian. Ternyata cara pandang saya itu secara keseluruhan. Dan rupanya cara pandang seperti inilah salah satu alasan yang bikin saya selalu berpikir positif terhadap banyak hal. Apa-apa dilihat baiknya aja.

Apakah cara pandang ini baik?

Baik, tapi gak selamanya. Karena adakalanya kita memang harus melihat segala sesuatu dari berbagai sisi. Nothing's perfect. Nah di mana ketidaksempurnaannya yang bisa diperbaiki, bisa dicegah supaya nggak menimbulkan mudharat yang besar.

Sudut pandang tentu dipengaruhi banyak hal, salah satunya masa lalu. Orang dengan sudut pandang banyak positif, biasanya memiliki masa lalu yang relatif manis gak banyak gejolak. Dan sebaliknya, mereka yang acapkali berpikir ada yang salah atau gak bagus akan sesuatu, biasanya melewati masa lalu yang relatif sulit, harus struggle, jadi terbiasa melihat beragam hal buruk atau menyakitkan.

Orang tipe kedua ini jika bisa berdamai dengan masa lalunya, berpotensi tumbuh jadi sosok yang visioner, tahu seluk-beluk plus minus suatu hal, strategic planner. Sementara si 'positif' relatif sulit jadi orang macam itu. Perannya di dunia lebih ke jadi peace maker, dengan caranya yang sederhana.

Sekarang setelah melewati banyak hal yang seringkali memaksa untuk 'fight', saya mulai bisa dan paham sudut pandang si 'negatif' dan malah berkali-kali melakukannya. Satu perilaku yang dulu 'bukan saya banget'.

Sampai akhirnya saya mikir, andai lebih banyak orang bisa mundur sedikit dan memahami lebih dalam mengenai perbedaan sudut pandang ini, mungkin gak bakalan banyak konflik atau war terjadi ya? Terutama sama anak-anak. Kalau kita sebagai orangtua mau duduk bareng dan sesekali mencoba memakai kacamata yang sama dengan anak, tau alasan kenapa dia berpikir atau melakukan sesuatu, stres bisa diminimalisir.

Bukankah saling memahami itu lebih menyenangkan daripada saling menghakimi?


Salam hangat,

Pritha Khalida🌷

Comments

Popular posts from this blog

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap...

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu? ...

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu...