Skip to main content

Tazkiyatun Nafs dan Rukyah Syar'i


Jumat lalu saya berkesempatan jadi moderator kajian #tazkiyatunnafs Ustadzah Sayyidah Murtafiah Djauhar. Beberapa hari sebelumnya, setelah posting poster kajian, ada yang nanya, "Tazkiyatun Nafs tuh apa sih?"

Saya jelasin kan, mengenai upaya membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati atau emosi negatif, yang nggak jarang berimbas ke sakit fisik yang bahkan menahun. Membersihkan jiwa agar bisa produktif dan berdaya di jalan menuju surga.

"Biasanya kalau offline habis kajian Tazkiyatun Nafs itu ada rukyah mandiri," pungkas saya.

"Hah rukyah? Emang semua penyakit itu gara-gara jin ya?"

Weh, ya nggak gitu konsepnya, Marimar!

Tapi ya memang gak bisa dipungkiri, bahwa masih ada orang yang antipati saat dengar kata #rukyah. Langsung ingat sama jin, san-tet dan seluruh aktivitas alam gaib. Padahal prakteknya gak gitu amat. Iya ada yang memang dicampuro oleh makhluk halus, tapi banyak juga yang jiwanya terganggu karena belum mampu berdamai dengan luka. 

Luka yang menjelma jadi trauma, inner child, bahkan sampai depresi. Biasanya yang gini akan menyerang bagian tubuh yang lemah. Kan ada tuh yang jadi gatel-gatel, nyeri sendi, sakit kepala atau gangguang pencernaan. Konon smua itu berhubungan dengan kondisi hati.

Jika memang iya, maka benarlah yang disampaikan oleh Rasulullah,

"Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya.Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu."

(HR. Bukhari Muslim).

Nah melalui rangkaian kajian Tazkiyatun Nafs dan Rukyah Syar'i, smua itu digali. Mulai dari kenapa kita (terutama perempuan) berpotensi lebih besar terkena penyakit akibat luka hati. Karena memang sasaran empuk. Perempuan itu kan dominan main di perasaan. Trus ditambah fakta kalau mereka juga pada umumnya multi-tasking, overthinking dan semacamnya yang bermuara pada kelelahan.

Masuk tuh syaitan dari situ, ke dalam aliran darah, singgah di hati, membisikkan keburukan dengan teori 'Srigala berbulu Domba', membalut keburukan dengan kebaikan. Salah satu contohnya bilang, "Terimakasih aku sudah berjuang sejauh ini."

Wah rusak itu Tauhid. Yakali Lo kuat menanggung beban hidup? Manusia itu gak ada apa-apanya tanpa kebaikan Allah. Alih-alih bersyukur atas nikmat-Nya, malah bilang makasih sama 'Aku'. Dan masih banyak contoh lain.

Setelah teori diungkap, lanjut Ustadzah Sayyidah membimbing Rukyah mandiri. Peserta disuruh ambil air di botol, lalu kami diajak berdoa dengan ayat-ayat rukyah. Disuruh membayangkan orang-orang yang karenanya kita terluka. Beranikan diri untuk memaafkan dan mengikhlaskan.

Di situ wuih, tangis peserta pecah, bahkan ada yang sampai batuk dan mun-tah. Beliau mengakui bahwa memang lagi ada beban sangat berat yahg dipikul.

Di akhir sesi, hampir semua peserta zoom mengaku lega. Enteng rasanya. Masya Allah tabarakallah.

Pas teman saya yang kemarin nanya tentang Tazkiyatun nafs dan Rukyah Syar'i itu dikasih tau tentang ini, dia bilang, "Lah kalau kaya gitu aku mau. Kirain bahas jin gitu."

Hlaah ... 

Banyak juga yang udah daftar tapi berhalangan. Pada surprise pas tau ada rukyah mandirinya juga. 

"Ustadzah, kapan diadain lagi?" 

Kapan ya? Semoga Ustadzah baca ini dan mempertimbangkan untuk bikin lagi.

Kalian, kalau diadakan lagi, mau ikutan?

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya