Skip to main content

Wahai Ibu, Jika Lelah Katakanlah



Selepas mengampu kelas #MembasuhLukaMengasuhDenganBahagia saya menerima banyak sekali japri curhat para ibu. Alhamdulillah rata-rata mereka merasa terbantu dengan adanya kelas ini. Jadi bisa mengenali dari mana sumber emosi yang menyertai hari-hari selama ini.

"Saya akhirnya tau kalau saya ini terlalu capek, Teh. Sehari-hari saya jualan makanan di dekat pasar, untuk menyambung hidup. Di samping itu, masih pula saya menyiapkan urusan domestik. Semua saya lakukan sendiri, karena suami seolah tak peduli. Katanya dia sakit. Tapi sudah ke dokter saraf berkali-kali, nggak ditemukan penyakit apa. Terakhir malah dia bilang pengen ikut touring lagi."
Jadi gini ...

Sang suami ini tadinya bekerja sebagai supervisor di satu perusahaan swasta. Nah di situ, dia berkenalan dengan komunitas motor besar dan sering ikut touring.

Masalah muncul. Kredit motor dan aktivitas touring menggerus penghasilannya. Dari yang tadinya keluarga ini berkecukupan, meski tak berlebih, perlahan jadi minus. Sang isteri sigap membuka warung untuk membantu perekonomian keluarga.

Sejak itu pula suaminya jadi sering sakit-sakitan. Sudah ke dokter umum, dokter spesialis saraf, psikiater, pakar rukyah dan lain-lain. Nggak ada perubahan. Sang suami belakangan malah bilang takut mati (imho, ini sih emang ada gangguan mental. Minimal banget caper). Berujung pada nggak lagi menafkahi. Isterinya bahkan nggak tau suaminya masih bekerja atau nggak. Karena kadang masih pergi ke kantor, kadang nggak. Gaji? Entah. Dan sang isteri tak lagi pernah berani berharap.

"Saya masih menyiapkan segala keperluan suami mulai dari makan, pakaian, jamu, obat dan lainnya di sela melayani pembeli di warung. Suami saya kerjanya makan, tidur, HP-an. Bahkan karena suami ketakutan tinggal di ruko, kami sekarang tiap warung tutup jam 9 malam, pulang ke rumah orangtua. Besoknya jam 4 pagi, ke warung untuk persiapan dagang. Capek sekali, Teh. Dari kelas ini, saya baru terpikir, oh kayanya karena ini saya jadi suka emosian ke anak." Begitu cerita sang isteri.

Sungguh, jika ada di sampingnya, rasanya saya ingin sekali memeluk beliau. Berat betul bebannya. Sesuatu yang semestinya tak dipikul olehnya, karena syariat tak mewajibkannya melakukannya.

Beliau bercerita kalau kakaknya ada yang tahu kondisi itu dan memaksanya untuk berpisah saja. Sekali pernah dia mengatakan itu pada suaminya. Apa yang terjadi? Sang suami membawa paksa anak-anaknya ke kampung halamannya, yang berujung dengan sakitnya anak-anak itu. Sejak itu tak berani lagi isterinya berbicara tentang perpisahan. Tak apa lah berjuang sendiri, yang penting anak-anak di sisi.

Saya jadi teringat salah satu materi Ustadz Adriano Rusfi saat membahas tentang peran suami sebagai qawwam. Jika ini terhambat bukan sebab sakit sehingga membuatnya benar-benar tak punya daya untuk berikhtiar menjemput rezeki, maka baiknya isteri tak perlu ambil alih peran sebagai pencari nafkah. Yang perlu dilakukan isteri adalah menguatkan, memotivasi, mendukung agar suaminya bisa kembali berdaya.

Entah suami pasca PHK, bangkrut atau sakit. Apapun itu, dukung dan semangati untuk kembali produktif. Ingatkan kewajibannya yang kelak akan menjadi hujjah di hadapan Allah.

Sertai dengan doa dan amal shalih. Biar wuuz melesat ke langit, jadi amunisi sehat untuk membentuk keluarga tangguh.

Ini bukan berarti gak boleh bantu sama sekali, bukan! Silakan isteri-isteri cerdas shaliha yang punya keterampilan untuk membantu perekonomian dengan memasak, menjahit, menulis dll. Boleh banget itu dikembangkan untuk jadi penghasilan. Tapi jangan memaksakan diri untuk jadi tulang punggung. Nggak akan bisa, karena bukan itu fitrah perempuan. Tugas utama seorang isteri-ibu adalah berbakti pada suami dan menjadi madrasah utama anak-anak. Itu prioritas, lainnya selingan. Jangan dibalik. Pasti hasilnya nggak beres.

Kecuali untuk kondisi sangat urgent. Suami wafat, sakit keras atau berpisah (lalu menghilang ke dasar bumi).

Jika ini terjadi, katakan saja, bahakn boleh menangis, "Ya Allah, aku lelah. Tolong kuatkan."

Lalu sungguh-sungguh meminta agar Allah beri kekuatan, kesabaran dan keikhlasan extra. Lakukan yang terbaik. Fokus gak usah denger omongan tetangga atau netyjen.

Lillah. Billah. Fillah
Semangat karena Allah, atas bantuan Allah, atas nama Allah.

Semoga Allah ridha dan kelak berbalas surga.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

🕋 ada Umroh Tazkiyatun Nafs plus #citytourkairo bersama Ustadzah Sayyidah Murtafiah Djauhar tgl 28 Februari 2024. Di sini jamaah akan dibimbing untuk melepas beban emosi negatif dan mengelola hati agar ikhlas dengan segala takdir, hidup #BahagiaBersamaTauhid
Sila amankan seat ☎️ wa.me/628179279177

Comments

Popular posts from this blog

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap...

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu...

Gadget, Sahabat atau Musuh bagi Fitrah untuk Bertumbuh

  Bisa membersamai guru itu rezeki tak terkira. Tahun lalu, saya mengenal Bunda Roro. Eh, bukan, kenal mah udah lama, beberapa kali nonton videonya bersama sang suami, Ustadz Harry Santosa allahuyarham. Tahun lalu itu saat akhirnya saya memutuskan ikut kuliah #fitrahbasededucation dan #fitrahbasedlife selama 3 bulan (akhirnya sih extend karena berbarengan dengan Ramadhan) Kuliah yang mensyaratkan kehadiran 90% kalau mau dapat sertifikat, maka saya pun jadi rajin. Ya bukan karena sertifikat amat sih, sayang aja gak sih udah bayar, belajar, tapi disia-siakan dengan nggak serius? Saya pengen bisa menyerap ilmunya, biar bisa dipraktekin ke diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Faktanya, belajar #fitrah memang sulit menemukan kata akhir.  To know God (Ma'rifatullah) To do Good (Good life) And to Accept the True Knowledge (Ilmu - Kitabullah) Ilmu yang harus terus dipelajari dan diperbaharui sampai akhir hayat. Sore tadi saya berkesempatan membersamai Bunda Roro sebagai Host di sala...