Skip to main content

Tentang Isteri yang Berjuang 'Sendiri'



Mau sedikit cerita dari hasil kelas 'Membasuh Luka Mengasuh dengan Bahagia' tempo hari.

Cukup banyak perempuan yang japri setelah kelas. Kasusnya sebagian besar adalah mereka yang merasa berjuang sendiri dalam bahtera rumahtangganya.

"Suamiku awalnya sakit, jadi nggak bisa kerja. Supaya dapur tetap ngebul, saya otomatis ambil alih dengan jualan apa aja. Pas udah sembuh, emang sih gak se-fit biasanya. Tapi gak sakit amat juga, beliau jadi kaya yang malas gitu, Teh. Gimana ya, saya capek?"

Atau,
"Teh, saya ini senang sekali baca parenting. Jadi meskipun cuma lulusan SMA, saya punya harapan jadi ibu yang baik, sama kaya teman-teman yang sarjana. Tapi suami kaya nggak peduli kalau saya kasih tau, gak boleh lho bentak anak. Atau kita harus apresiasi anak, jangan mikir kan itu emang udah kewajibannya. Jadi kaya saya tuh nerapin ajaran parenting sendiri. Jadi kesel. Sering beda prinsip dalam mendidik anak. Gak patuh sama suami, dosa. Tapi mau patuh, saya tau itu salah."

Lainnya,
"Saya kalau di mata teman-teman kayanya beruntung banget deh, Teh. Punya suami berkecukupan, bisa nyekolahin anak di sekolah yang bagus dan macem-macem lah alhamdulillah. Tapi saya iri sama teman-teman yang suaminya masih suka nyempetin nganter anaknya sekolah, ngajak main saat weekend. Saya juga suka pengen gitu kalau baca tulisan tentang keluarga Teh Pritha, anak-anak saling curhat atau bercanda dengan santai. Suami saya super sibuk, Teh. Saya kurang bersyukur kah?"

Dan banyak lagi. Benang merahnya sama, isteri yang merasa berjuang sendiri.

Saya tulis merasa, karena belum tentu kenyataannya seperti itu. Meski ada juga sih yang memang betul demikian. Semoga Allah ridha hadirkan kesadaran untuk suami mereka.

Jadi gini, Buibu ...
Tarik napas dulu, hembuskan sambil istighfar. Ulang 10x.

Suami itu laki-laki (pastikan ini benar!) yang pada umumnya kemampuan empatinya tidak sebesar perempuan. Karena mereka ditakdirkan untuk jadi 'pemburu' bukan 'pengasuh'. Jadi wajar banget kalau ada suami yang nggak mahir perkara pengasuhan.

Jangan dulu antipati, hey! Sebagai isteri, pelan-pelan ajak suaminya bersinergi. Berkomitmen dalam pernikahan artinya menandatangani kesepakatan untuk menjalankan segala tugas dan menghadang beragam rintangan bersama.

Inget, pelan-pelan. Jangan abis ikut kelas parenting trus nyerocos, "Papa tuh salah, harusnya Papa begini begitu sama anak."

Atau, "Negeri ini Fatherless. Papi lah salah satunya, pagi sibuk kerja, malem main games."

Nggak gitu, Bu. Bukannya sadar, yang ada makin kesini dia makin kesana.

Coba ubah kalimatnya, "Yah, makasih lho udah bayarin aku ikut kelas parenting. Aku jadi belajar tentang A, B, C. Kayanya berat banget ya jadi orangtua itu. Ayah mau bantuin aku jadi Ibu yang baik?"

Semacam itulah, Bu. Mesti dinaikin dulu kebutuhan dihargai-dihormatinya.

Tugas kita mengingatkan akan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Jangan sampai dia lalai. Nanti kan ada hisabnya.

Susah? Sabar.

Sampai kapan sabarnya? Semampu masing-masing lah. Daya tahan setiap orang berbeda, bukan?

Jangan lupa, minta pertolongan Allah.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

📸 Buku ini insya Allah bisa jadi salah satu rujukan buat para ibu yang ingin bersinergi dengan suaminya dalam mengarungi bahtera rumahtangga
☎️ wa.me/628179279177

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena