Skip to main content

The Power of 'Kepepet'



Beberapa waktu lalu, si sulung janjian sama teman lamanya di mall. Sohib banget, jauh di mata dekat di mabar #eh

"Tapi Bunda cuma punya uang segini lho, Bang. Kalo mo nonton, gak akan cukup."

"Dah gak papa, paling makan doang."

"Bun, Bilal ikut ya?"

"Eh, uang buat Abang aja pas-pasan. Pake kamu mau ikut segala."

"Udah lama nggak ke mall."

"Ya sama Bunda juga. Tapi kan memang belum perlu amat."

"Iya sih, tapi ..."

"Dah gak usah, Abang cuma mau ketemu sama temen lamanya. Bilal sama Bunda aja, nanti kita beli es krim."

Dia menggeleng. Manyun.

"Ya udah ayo ikut, tapi jangan minta jajan yg enggak-enggak." Kakaknya memutuskan.

Mata anak itu berbinar, "Kata Abang boleh, Bunda ridha?"

"Yakin, Bang?"

"Iya lah daripada berisik. Lagian ntar pada jajan es krim, Gaza gak kebagian."

Sekali lagi si nomor dua menatap saya, "Ridha?"

Saya mengangguk.
❤️

Sekitar jam 2, keduanya udah pulang, plus teman si sulung. Katanya mau mampir dulu, janji pulang ke ibunya sore.

"Udah pada makan?"

"Belum."

Saya bikinin ayam krispi yang sat set. Ketiganya makan dengan lahap.

"Tuh kan Bang, apa Bilal bilang, kita makan di rumah aja. Ayamnya lebih banyak, nasinya juga, gratis lagi."

"Auk ah!"

"Kenapa emang?"

"Tadi Abang ngajakin makan Padang dekat mall. Karena kalo makan di mall, uangnya gak cukup. Bilal takut Uda-nya lupa masukin sambal, ntar Bilal gak makan karena pedes. Jadi Bilal bilang, mending uang dari Bunda dipake makan es krim aja. Cukup, udah gitu kan enak ngadem di mall cuma modal sekian belas ribu seorang. Akhirnya kita makan es krim."

"Trus kok kalian gak bilang ke Bunda mau pulang? Bunda panggilin ojol."

"Kata Abang, kasian Bunda nanti uangnya abis kalo pergi pulang pake ojol. Ya udah kita naik angkot pake sisa uang tadi."

"Cukup?"

"Cukup, sisa sekian ribu, kita beliin es teh. Pas banget!"

Masya Allah tabarakallah. Asli saya kagum, anak-anak perkara hitung uang bisa secermat ini. Prihatin, mereka paham adakalanya keuangan ibunya terbatas, di lain waktu ada lebihnya. Lebih dari itu, keduanya mampu diskusi dan nego saat kami orangtuanya nggak membersamai. Padahal ya Rabb, kalo ada ortunya gak jarang ribut cuma karena rebutan apa tau.

Satu yang harus saya catat dalam memori. Kalau suatu saat keduanya menjengkelkan, ingatan ini harus di-recall.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap...

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu...

Gadget, Sahabat atau Musuh bagi Fitrah untuk Bertumbuh

  Bisa membersamai guru itu rezeki tak terkira. Tahun lalu, saya mengenal Bunda Roro. Eh, bukan, kenal mah udah lama, beberapa kali nonton videonya bersama sang suami, Ustadz Harry Santosa allahuyarham. Tahun lalu itu saat akhirnya saya memutuskan ikut kuliah #fitrahbasededucation dan #fitrahbasedlife selama 3 bulan (akhirnya sih extend karena berbarengan dengan Ramadhan) Kuliah yang mensyaratkan kehadiran 90% kalau mau dapat sertifikat, maka saya pun jadi rajin. Ya bukan karena sertifikat amat sih, sayang aja gak sih udah bayar, belajar, tapi disia-siakan dengan nggak serius? Saya pengen bisa menyerap ilmunya, biar bisa dipraktekin ke diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Faktanya, belajar #fitrah memang sulit menemukan kata akhir.  To know God (Ma'rifatullah) To do Good (Good life) And to Accept the True Knowledge (Ilmu - Kitabullah) Ilmu yang harus terus dipelajari dan diperbaharui sampai akhir hayat. Sore tadi saya berkesempatan membersamai Bunda Roro sebagai Host di sala...