Skip to main content

Membantu Orangtua, Kualitas Vs Kuantitas



Buibu, pernah nggak minta tolong anak, trus dijawabnya 'Nanti' atau 'Bentar' padahal anaknya nggak lagi ngerjain sesuatu yang urgent (sholat, ngerjain pe-er).

Saya pernah. Kalau lagi nggak terlalu repot, ya B aja. Tapi kalau lagi repot, jengkel deh rasanya.

Sampai tadi saat saya minta bantuan si sulung, dan kembali dia bilang "Iya bentar, mamenit yaa!"

Dan lima menit kemudian, dia nggak nongol.

Auto saya panggil lah anak itu.

"Kenapa sih kalau Bunda minta tolong, harus ada ntar, nanti atau semacemnya? Emang kamu lagi ngapain? Menyelamatkan bumi?"

"Enggak, tadi Gaza lagi nonton itu, tanggung dikit lagi."

"Bisa kan di-pause, trus lanjut lagi nanti?"

"Ya bisa, cuma ..."

"Cuma kamu sudah dikendalikan sama tontonan, dijadiin ba bu sama dia. Jadi manut aja sampe selesai. Sementara sama Bunda, gak patuh."

"Patuh lho, Bun. Meskipun gak langsung, nanti kalo dikerjain langsung banyak sekalian ini itu, lebih dari yang Bunda minta."

"Bunda nggak perlu bantuan sebanyak itu, kok. Kamu tau nggak, bantuan lebih banyak mungkin meringankan urusan, tapi maknanya beda, Bang."

"Maksudnya?"

"Kalau tadi Bunda cuma minta A dan langsung kamu lakukan, maka Bunda akan sangat senang, merasa didengar, merasa diperhatikan, merasa dipatuhi. Saat itu terjadi, ingat nggak Bunda suka bilang 'Terimakasih', 'Nah gitu dong mantap', atau 'Masya Allah shalih', ya kan?"

Anak itu mengangguk pelan.

"Nah lagi gitu teh, segala doa buat kamu naik ke langit. Doa karena bahagianya seorang ibu, dijadikan prioritas buat anaknya di atas segala urusan dia. Seneng banget, ya Allah. Kamu akan ngerasain nanti kalo udah punya anak. Meskipun bantuannya lebih kecil kalau dibandingkan dengan dikerjakan nanti. Lebih dari itu, tektokan kita tuh asyik banget deh. Kaya orang main musik. Selesai gitar, langsung piano masuk, ditutup drum. Harmoni. Nggak yang gitarnya sekarang, pianonya ntar malem, drumnya besok. Dah gak nyambung."

"Bukannya urusan Bunda jadi lebih sedikit?"

"Betul jadi lebih sedikit, tapi Bunda kesel. Mending mana gapapa lebih banyak tapi Bunda bahagia?"

"Bahagia."

"Ya iya. Inget kan kisah Uwais Al Qarni? Dia bukan khalifah kaya Abu Bakar, Bukan panglima macem Khalid, bukan yang menyerukan panggilan shalat kaya Bilal. Tapi namanya terkenal di antara penduduk langit, kenapa?"

"Karena berbakti sama ibunya."

"Nah itu. Setiap orang punya tugas hidupnya masing-masing. Khalid Allah ciptakan jadi panglima, Abu Bakar jadi pemimpin, Bilal jadi pengingat akan shalat. Uwais jadi teladan akan cinta dan bakti yang demikian besar pada ibunya. Kamu, juga kelak akan ada. Khasnya seorang Gaza, apakah jadi ahli IT, atau apa lah yang kamu impikan. Tapi saat ini, saat kamu beranjak dewasa, patuh sama orangtua itu yang utama. Tau nggak buat apa?"

"Ya biar Bunda seneng, biar dapet pahala."

"Betul, karena Allah ridha sama anak yang orangtuanya ridha padanya. Meski kalo Bunda sih tetep aja ridha sama anak-anak Bunda walaupun kalian semenjengkelkan gimana juga. Kenapa? Takut, kalau gak ridha, ridha Allah juga gak turun. Tau kan kalau kita nggak diridhai Allah? Segala urusan jadi susah. Sama sesama gak dianggap. Dahlah gak ada artinya hidup juga."

"Jadi beban?"

"Nah itu paham. Mau kaya gitu?"

Dia menggeleng lagi.

"Denger Bunda, pengen dmudahkan urusan, pengen dilancarkan rezeki, pengen diencerkan otak sampai gampang paham segala ilmu yang dipelajari, bikin Allah ridha. Salah satu pintunya, dari ridha orangtua, kebahagiaan orangtua."

"Meskipun yang Gaza lakuin sedikit?"

"Eh jangan sepelekan yang sedikit. Bilal bin Rabah suara sendalnya kedengeran di surga padahal masih hidup, karena apa? Cuma karena selalu jaga wudhu, bukan karena menyelamatkan bumi. Syai than dikeluarin dari surga, kenapa? Hal kecil, karena sombong. Bukan karena nge ram pok. Paham?"

"Iyaa."

"Lakukan mulai besok, usahakan. Oke?"

Anak itu ngangguk, poninya gerak-gerak lucu, "Minta maaf, Bun."
"Iya dimaafin, besok nggak diulang. Gak mau Bunda denger nanti, bentar atau apa lah pas kamu lagi nggak ngerjain yang urgent."
Nggak semua anak paham, apa maunya orangtua. Dan kita sebagai orangtua terutama ibu, gak bisa ngarep mereka paham tanpa pernah mengkomunikasikannya secara gamblang. Bilang, Bu ... Bilang. Jangan dipendam dan bilang 'Terserah', karena kita bukan ABG. Okeey?

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru