Skip to main content

Assalamualaikum, Dek! #FiksiMini



Namanya Dahlia. Di usia jelang tiga puluh lima, ia menjabat sebagai Senior HRD di satu perusahaan perkapalan. Cantik, cerdas dan percaya diri. Nyaris semua orang yang pernah bertemu dengannya akan setuju bahwa dia adalah high quality person.

Satu hal yang bikin orang-orang yang sudah lama mengenalnya heran, kenapa di usia matang ini dia masih single?

Tentu saja orang-orang paham, bahwa jodoh di tangan Tuhan. Tapi keheranan pada seseorang yang tampilannya nyaris sempurna seperti gadis itu, tak bisa disalahkan juga kan?

Nurul mengenal Dahlia sebagai salah seorang terpandai di almamaternya dulu. Setelah lulus S1 Psikologi, ia mengambil master di bidang Psikologi Industri dan Organisasi. Bakat leader-nya sudah tampak sejak ia masih kuliah, sebagai wakil ketua senat fakultas. Semakin terasah di kampus serta kala menjalani profesi sebagai HRD. Tegas namun ramah. Perpaduan yang cukup untuk membuat orang segan tapi tak benci.

Hingga suatu hari, Dahlia membuat postingan yang mengejutkan di WA group kantor dan alumni, undangan pernikahannya dengan Dito.

Siapa Dito?
Tak ada rekan kerja maupun teman kuliah yang mengenalnya.

Sementara dari hasil penelusuran Malya, sang 'detektif kantor', didapati bahwa ia adalah seorang lelaki paruh baya yang mengantarkan anak gadisnya, untuk interview di kantor tempat Dahlia bekerja. Seorang single parent dengan tiga anak, yang juga pemilik sekolah karakter di Bogor.

Penampilan Dito biasa saja, khas bapak-bapak jelang limapuluh. Bertubuh gemuk dengan tinggi badan mungkin seratus emampuluh limaan, karena jika berdampingan, tampak Dahlia yang seratus tujuhpuluh, sedikit lebih tinggi.

Suatu hari Nurul, sahabatnya sejak lama bertanya pada Dahlia, mengenai alasan mendasar kenapa ia mau menikah dengan Dito? Yang notabene belum lama dikenalnya.

Dita tersenyum. Ia tahu bahwa ini pertanyaan banyak orang, namun hanya Nurul yang berani menanyakannya.

"Well, karena dia panggil aku 'Dek'."

"Haah??"

"Gosah histeris gitu dong, Beb."

"That simple? Come on, ini pernikahan, Dahl, bukan main-main. Aku dulu mengajukan banyak pertanyaan pada calon suamiku sebelum mengiyakan lamarannya."

"Iya, Prastya puteri sulungnya shalat dzuhur bersamaku di masjid seberang kantor, setelah interview. Ketika kami keluar, aku melihat seorang lelaki menunggunya di luar. Dia pamit duluan padaku sambil bilang, Udah dijemput Ayah."

"Di situ dia manggil, Dek Dahlia?"

"Enggak. Pertemuan pertama memberi kesan baik untukku. Aku teringat ayahku sendiri yang mengantarku daftar di kampus, hari pertama kuliah, hari pertama bekerja dan banyak momen-momen pertama lainnya dalam hidup. Bagiku laki-laki yang mencintai puterinya dengan sangat, pastilah sosok yang hangat."

"Lalu?"

"Kami ketemu lagi saat aku sedang antri dokter gigi. Dia lagi-lagi mengantarkan puterinya."

"Di situ dia bilang 'Dek Dahlia'?"

"Ya, tepatnya, 'Assalamualaikum Dek, boleh saya bertemu dengan ayahmu?' Aku nggak banyak mikir, kuberikan alamat rumah ayah padanya. Hanya selang sehari, dia sungguh-sungguh datang, berbicara panjang lebar dengan Ayah. Aku tak banyak tanya, hanya kudengar malamnya Ayah menelepon dan bilang, 'Rasanya sudah waktunya memercayakan Teteh pada laki-laki selain Ayah."

"Jadi bukan karena panggilan 'Dek' itu dong kalau panjang begitu prosesnya?"

"Tentu saja itu berpengaruh, Rul. Kau tau, aku anak sulung, cucu paling tua pula di keluarga ayah maupun ibu. Banyak orang termasuk paman, bibi dan nenek kakekku memanggil 'Teteh'. Nyaris tak pernah aku mendengar orang memanggilku 'Dek'. Kau tau, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan panggilan itu. Sebuah janji bahwa si pemanggil akan menjagaku, melindungiku, memanjakanku. Lain dengan panggilan 'Teh' dimana aku diharapkan memberi teladan, memikul tanggungjawab dan mencintai adik-adik."

Nurul mengangguk paham.

"Gak usah disebarin ke teman-teman, ya!"

"Enggak."

"Kok aku ragu dengan jawabanmu?"

"Aku cuma akan post di blogku."

"Aaah! Salahku curhat sama penulis!"

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?