Skip to main content

Pilih Pahala atau Dosa Jariyah?



Cukup sering saya butuh waktu lama untuk membaca satu buku. Bukan karena nggak bisa baca cepet, tapi biasanya karena ada bagian-bagian dalam buku tersebut yang membutuhkan waktu lebih lama untuk dicerna, direnungkan dan dipelajari untuk bisa diamalkan.

Buku terbaru yang membuat saya bersikap demikian adalah 'Risalah Tobat'-nya Dr. Syarikh Yusuf Qardhawi Rahimahullah.

Setelah sebelumnya membahas tobat dari dosa bagi orang yang menyembunyikan kebenaran, seperti digambarkan dalam ayat berikut,

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 159-160]

Selanjutnya bahasan bergerak menuju sikap sebaliknya, yaitu orang yang memperburuk citra kebenaran dan berupaya mengubahnya dalam bentuk keburukan untuk menghalangi orang darinya dan menghiasinya dengan ucapan dan tulisannya.

Maka tak diragukan, dosa orang ini tentu lebih besar dan lebih berbahaya. Inilah yang harus diperhatikan betul oleh para penulis, wartawan, penyiar, artis, penceramah dan profesi lain yang membentuk opini umum serta kecenderungan dan orientasi massa.

Apalagi di masa sekarang, dimana mereka yang memiliki banyak follower, sedikit-banyaknya memiliki pendukung 'buta tuli', yang mengiyakan saja semua pendapat sang idola tanpa mau sejenak berpikir dan menyaring. Nggak sadar bahwa idolanya itu juga manusia, yang nggak luput dari dosa, butuh selalu diingatkan.

Nah, katanya, tobat orang-orang seperti ini tidak sah cuma dengan menyesal dan bertekad tak mengulanginya. Tapi juga harus mengadakan perbaikan dan menjelaskan pada masyarakat atas karya atau perbuatannya yang sudah merusak banyak akal dan perasaan serta menyesatkan orang lain.

Sebagai penulis, tentu saja ini merupakan tam paran keras bagi saya. Bahwa setiap kalimat yang terangkai, harus betul-betul diperhatikan. Jangan sampai menginspirasi orang berbuat maksiat. Karena bagaikan listrik, meteran amal/dosa kan jalan terus. Dan jalannya meteran amal/dosa orang-orang dengan profesi yang membentuk opini umum, itu akan berlipat ganda seiring dengan follower yang terinspirasi dan mengikuti.

Kasus 1
Penulis A menulis kisah tentang perse lingku han dengan mantan karena ada masalah dengan pasangan halal. Lalu dibumbui dengan romance sedemikian rupa, sehingga membuat pembaca lupa bahwa se-bermasalah atau seburuk apapun pasangan halal (suami/isteri), ada cara untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik entah melalui mediasi keluarga, konsultasi psikolog/ulama dan semacamnya. Bukan dengan se ling kuh. Lalu pembaca malah terhanyut dan membela si orang ketiga. Tak cukup sampai membela, mereka lalu mendadak teringat man tan, menghubungi, ketemuan dan bla bla bla.
➡️ Dosa jariyah penulis berlipat ganda tak terhingga bagai bola salju.

Kasus 2 :
Seorang penulis sama-sama menulis tentang per se ling kuh an dengan mantan. Tapi dijelaskan bahwa itu dosa. Dimana sang tokoh digambarkan merasa bersalah, malu, stres, linglung dan akhirnya berproses memperbaiki kesalahannya, bertobat atas dosanya dan berjuang untuk melakukan berjuta kebaikan demi membalas maksiat yang pernah dilakukannya.
Di kalangan pembaca, qadarullah ada yang sedang mengalami/melakukan hal serupa. Mereka seolah diingatkan bahwa perbuatannya salah. Lantas tobat pun diucapkan dan jalan hijrah ditempuh. Kebaikan demi kebaikan dilakukan untuk menebus dosa.
➡️ Allah ampuni dosanya, diberikan pahala atas tobatnya. Penulis pun kebagian pahala jariyah atasnya.

Iya, sesederhana itu hitungannya.

Dan hitungan pahala/dosa jariyah ini nggak berlangsung sekarang aja saat si penulis masih hidup. Bahkan kelak saat jiwa sudah berkalang tanah, saat tak lagi ada yang bisa membela, entah harta maupun tahta, apalagi cuma satu unit rubicon #eh.

"Ah kaku banget sih hidupmu, Prith! Itu kan cuma cerita fiksi."

Jika ada yang berpendapat demikian, mohon maaf, Allah tak pernah menciptakan cerita fiksi dalam hidup kita, Bestie!

Kalau Allah kasih rezeki, ya sampai, meski dengan jalan berliku. Sebaliknya kalau Allah kasih ujian, ya sampai juga. Enggak ada yang fiksi alias bohong-bohongan, apalagi nge-prank.

Itulah kenapa, meski kisah yang kita tulis rekaan, harus tetap mengandung ilmu.

"Tapi nanti jadinya kaku?"

Ya belajar banyak-banyak, ikut kajian, baca shirah, nonton taushiyah, bergaul dengan orang-orang shalih ... biar gak kaku.

"Ah repot!"

Memang begitu, Rasulullah saja sudah sampaikan sejak lama, "Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir." (HR. Muslim)

See?
Pilihan ada di tangan kita. Mau ke kiri atau ke kanan, ada konsekuensinya masing-masing.

Selamat memilih!

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya