Skip to main content

Meminta Syarat Peluk C1um Pada Anak, Efeknya Berbahaya, Benarkah?



Beberapa hari lalu sempat ramai yang share video belajar parenting, saya lupa nama maupun akunnya. Intinya, beliau memberi warning agar kita sebagai orangtua Stop meminta syarat peluk-c1um pada anak saat akan memberi sesuatu pada mereka.

"Mau pinjam HP? Sun dulu, dong!"

"Mau susu? Peluk dong."

Ya semacam itulah, gak boleh. Karena dikhawatirkan kelak anak akan dengan mudah memberikan itu pada orang lain saat dewasa nanti, jika mengharapkan sesuatu. Bukan tidak mungkin, bahkan s*x pun akan diberikan jika dijadikan syarat. Karena tertanam dalam dirinya bahwa itu sebagai 'alat pembayaran'.

Wow, serem amat!

Saya mikir, apakah seerat itu kaitannya? Bahwa anak yang terbiasa dikasih 'syarat' seperti di atas oleh orangtuanya, akan tumbuh jadi pemuda/i yang permisif memberikan segalanya saat ia dewasa?

Ah rasanya alur logikanya terlalu jauh. Bukankah anak-anak, tak perlu tunggu dewasa, sudah mampu membedakan orangtuanya dengan orang lain? Kalau kita peluk atau cium, dia nggak marah. Coba kalau ada orang yang gak biasa dengannya, misalnya neneknya, apa dia mau? Biasanya nggak. Kecuali jika tinggal bersama atau sering ketemu.

Dan jangan lupa, ada yang namanya proses pendidikan dan pengasuhan pada anak.

Yang praktis bisa diajarkan pada anak adalah tentang menjaga diri dari orang asing, mulai dari jangan mau ditawari makanan/minuman/mainan, jangan mau diajak jalan-jalan atau dijemput dari sekolah oleh orang tak dikenal.

Oh ya, sentuhan fisik juga wajib diajarkan pada anak. Tolak jika ada yang menyentuh tubuhnya, terutama di bagian aurat. Ini berlaku bagi orang yang dikenal maupun tidak. Kecuali orang-orang yang punya keperluan seperti dokter. Ajarkan anak untuk berani berteriak dan lari jika ada yang berperilaku demikian.

Itu yang praktis, bisa diajarkan dalam waktu sebentar. Secara berkesinambungan dalam jangka panjang, ada pengasuhan paling tidak terkait fitrah s*ksualitasnya. Menurut Ustadz Harry Santosa allahuyarham, seperti berikut :

0-2 tahun : Merawat attachment/kelekatan awal
Anak lelaki atau anak perempuan didekatkan kepada ibunya karena ada masa menyusui. Ini tahap membangun kelekatan dan cinta.

3-6 tahun : Menguatkan konsep diri berupa identitas gender
Anak lelaki dan anak perempuan di dekatkan kepada ayah dan ibunya secara bersama

7-10 tahun : Menumbuhkan dan menyadarkan potensi gendernya
Ini tahap menumbuhkan identitas menjadi potensi. Dari konsepsi identitas g*nder menjadi potensi g*nder.

11-14 Tahun : Mengokohkan Fitrah Seksualitas
Setelah fitrah s*ksualitas kelelakian dari anak lelaki dianggap tuntas bersama ayahnya, kini saatnya anak lelaki lebih didekatkan kepada ibunya, agar dapat memahami perempuan dari cara pandang seorang perempuan atau ibunya.
Sementara setelah fitrah s*ksualitas keperempuanan dari anak perempuan dianggap tuntas bersama ibunya, kini saatnya anak perempuan lebih didekatkan kepada ayahnya, agar dapat memahami lelaki dari cara pandang seorang lelaki.

Kalau itu semua selesai secara optimal, maka insya Allah nggak akan ada masalah seputar kurang kasih sayang yang berujung pada pengharapan kasih sayang, perhatian bahkan sentuhan dari orang lain utamanya lawan jenis.

Diminta, "Sun dulu dong ..." sama orang lain demi mendapatkan sesuatu, insya Allah jauh!

Apalagi kalau kita mempersiapkan mereka dengan #PendidikanAqilBaligh yang mumpuni sejak sebelum menginjak fase #AqilBaligh nya. Pemuda seperti ini, menurut Ustadz Aad akan mampu say goodbye dengan masa kecilnya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Karena apa? Mereka sudah mampu memikul beban syariat dengan penuh tanggungjawab. Tau apa hak dan kewajibannya. Tau apa yang Allah kehendaki darinya.

Lalu ditambahkan pula bahwa orangtua nggak boleh sembarangan memeluk dan menc1um anak-anak. Harus minta izin. Ini penting untuk membangun kemampuan anak bersikap tegas dan tau batasan apa yang menjadi privacy-nya.

"Boleh Bunda peluk adik?"

"Boleh Bunda c1um adik?"

Kalau anak nggak mengizinkan ya jangan maksa.

Ini pun saya kurang setuju.
Bukan perkara minta izinnya, coba telaah, jika ia tak berkenan, jangan langsung mundur. Tapi cari tau kenapa dia nggak berkenan?

Apakah karena mulut orangtuanya bau badan/mulut? Atau karena dia lagi bete? Atau karena merasa ada 'jarak' dengan orangtuanya? Atau yang terburuk, ada trauma?

Cara menangani setiap penyebab tentu berbeda, nggak bisa disamakan.

Sepakat bahwa jangan juga berlebihan dengan sentuhan fisik terhadap anak. Tapi nggak begini caranya (dengan selalu minta izin). Justru saya khawatir ini akan menumbuhkan pemikiran, 'Tubuhku adalah milikku'.

Yang memiliki mindset seperti itu berpotensi akan mengambil sikap child-free, SSA dan entah lainnya. Naudzubillahimindzalik.

Nggak usah dijadikan perdebatan. Silaka  dipikirkan, dirasa, direnungkan. Lakukan yang terbaik.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya