Skip to main content

Dunia Dari Balik Layar Gadget

Dunia ini semakin penuh saja, anak-anak. Tak hanya penuh secara fisik tapi juga psikis. Perang pemikiran di berbagai topik. Dari mulai diskusi antar pakar hingga perang mulut para pakar Google yang tak jelas mana akarnya dan kemana ujung dahannya.

Hmmm, Bunda lelah...

Hingga akhirnya Bunda memilih sejenak menepi. Dan yang Bunda lakukan adalah, sesuatu yang tak pernah terpikirkan dalam beberapa tahun belakangan: Deactivate account FB!

Cukup! Aku mau berhenti dari bingar dunia maya. Aku ingin menjalani kehidupan nyata dengan sederhana dan bahagia, tanpa perlu tahu topik yang sedang hangat atau kelewat panas lalu digoreng hingga gosong. 

Ya anak-anak, Bunda ingat zaman kecil dulu, saat dunia maya belum ada, saat belum ada gadget yang memandangnya tak cukup satu dua menit, betapa bahagianya Bunda bisa mengeksplorasi dunia baik dari atas sepeda maupun hasil membolak-balik lembar demi lembar buku yang harum karena baru dibuka segelnya.

Bunda bertemu banyak orang yang tinggal di sekitar. Ada seorang nenek tetangga yang suka sekali mengirim segala jenis masakan sambil mengobrolkan hal apa saja hingga terkadang lupa pulang saking asyiknya mengobrol. Sebaliknya, ada pemilik warung besar di ujung jalan yang irit sekali dalam berkata-kata. Cukup kita tunjukkan barang yang mau dibeli, dia sebutkan harganya, dibayar, dibungkus dan selesai. Oh tak luput, seorang anak lelaki tetangga yang nakalnya minta ampun. Setiap anak perempuan di sekitar rumahnya hampir sudah pernah merasakan akibat keisengannya. Yang dilempar jambu busuk dari atas pohon, ditakut-takuti kucing, diangkat roknya bahkan sampai urusan ditakut-takuti hantu. Sampai berujung pada, kebencian semua anak perempuan padanya (well entah jadi apa anak lelaki itu kini).

Dan ya, Bunda lalu menikmati hidup tanpa FB. Membuka jendela menghirup wangi tanah yang basah terkena hujan. Duduk di teras sambil menggendong Nailah berharap tukang putu lewat, mencari Bilal yang sudah lewat waktu main tapi belum juga kelihatan batang hidungnya dll. Sesuatu yang biasanya Bunda sambi dengan FB-an beberapa hari ini terasa santai.

Exhale... Inhale... Exhale... Inhale...
Alhamdulillah!

Hingga semalam, obrolan dengan seorang sahabat mengubah persepsi Bunda. Ia bertanya kenapa sudah berhari-hari tak membaca tulisan Bunda? 

Apa, Deactivate? Why?

Karena aku ingin lebih fokus pada anak-anak dan mengurus bisnis. Dan, ah... Kok sejak punya FB aku kayaknya lebih notice dengan notifikasi dari manusia ya, ketimbang dari Sang Pencipta?

Lalu dia mengatakan bahwa itu hak Bunda untuk bermedia sosial atau tidak. Dia hanya rindu tulisan Bunda. Tulisan tentang pengasuhan kalian yang seru dan lucu, pembahasan tentang topik yabg sedang hangat bahkan info seputar Properti yang Bunda jual.

Aku suka caramu bertutur dalam tulisan. Ringan, santai tapi bermakna.
Demikian katanya.

Aku lelah.

Pada apa?

Pada mom war. Pada hot issue yang tak beres macam eljibiti, kriminalisasi ulama, pemerintah yang sepertinya tak pernah berpikir kesulitan rakyat kecil. Menaikkan harga kok semena-mena, di semua lini pula. Astaghfirullah ya Rabb... 

Justru di situ pentingnya peran penulis sepertimu.
Kalian bisa meluruskan apa yang terjadi di luaran, apa yang disebut hot issue. Jangan sampai publik menganggap benar apa yang sering mereka baca atau tonton di media. Kalian para penulis, tentu tahu caranya menyampaikan suatu kebenaran, suatu kebaikan hingga orang paham di mana seharusnya ia berdiri. Apalagi orang awam, yang tak sempat membaca banyak buku ataupun tabayun ke berbagai sumber.

Ah?
Bunda terperanjat. Sedemikian pentingnya kah peran Bunda?

Aku lebih banyak jualan belakangan.

Iya, Property syariah kan? Tidakkah pernah terpikirkan olehmu berapa banyak yang terinspirasi untuk tak lagi berutang di bank karena tulisanmu? Bergegas melunasi cicilan mobilnya ke leasing, menggunting credit card nya atau tak lagi berurusan dengan bank keliling? Cuma karena ada seseorang yang sering menulis bahwa dosa riba yang terkecil seperti berzina dengan ibu kandung!

Bunda terdiam anak-anak. Namun ucapannya menjadikan Bunda terjaga sepanjang malam. 

Betulkah apa yang diucapkannya?

Hingga akhirnya dini hari tadi saat sebagian orang masih terlelap dan ayah kalian sudah menyalakan mesin mobil untuk menuju rumah Mamam, Bunda membuka kaca mobil. Menatap pekatnya malam dan udara setengah dingin yang berhembus.

Bunda mencoba menggapai semua semampu indera ini merasanya. Mata melihat semuanya dalam gelap. Hidup mencium aroma dedaunan bercampur asap knalpot, telinga mendengarkan desau angin dan mesin kendaraan, hingga wajah yang diterpa langsung oleh angin malam.

Betapa menyenangkan rasanya menikmati semua dalam suasana yang sepi dini hari. Semua terlihat tak terburu-buru. Terasa harmoni. Ah, apakah begini rasanya saat kita hidup di dunia nyata tanpa pengaruh segala hiruk-pikuk media sosial? 

Ya ya... Bunda kembali teringat pada laman FB yang sudah berhari-hari ditinggalkan. Bunda teringat pada ucapan seorang teman kemarin. Hingga akhirnya Bunda mengkaji ulang mengenai keputusan untuk hengkang dari media sosial.

Ah tidak, media sosial tak jahat. Seharusnya kita lebih pandai dan bijak dalam menggunakannya. Sampaikan kebaikan, tinggalkan keburukan. Termasuk berdebat mengenai hal-hal buruk dengan orang bodoh pula.

Lamat-lamat terdengar suara orang mengaji dari speaker mesjid terdekat. 

Ah, sudah hampir azan subuh.  

Baiklah, sudah diputuskan. Bahwa Bunda akan kembali bermedsos, tapi dalam durasi yang lebih pendek plus lebih cermat dalam merangkai kata di dalamnya. Bukankah setiap ucapan dan waktu yang kita pergunakan kelak akan dimintai pertanggungjawaban nya?

Sukabumi, 24 Desember 2017
Bunda yang berharap kelak saat kalian dewasa masih ada ruang yang tersisa dalam kehidupan kalian untuk dinikmati bukan dari balik gadget.

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru