Skip to main content

Jangan Wariskan Karhutla Pada Generasi Mendatang


Kualitas udara Jakarta dan sekitarnya disebut memburuk beberapa waktu belakangan ini. Sejumlah wilayah terlacak jadi langganan zona merah polusi, termasuk Jakarta dan Tangerang Selatan.

"Lihat polusi udara di Jakarta karena tiga hal. Satu kendaraan, kedua pabrik, ketiga pembangkit tenaga listrik." Begitu disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dalam seminar di Auditorium Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa (15/8).

(Source : CNN Indonesia )

Rupanya inilah penyebab panasnya udara di Jabodetabek belakangan ini. Kemarau ditambah dengan faktor-faktor tersebut, lengkaplah sudah memperburuk kualitas udara dan menyebabkan banyak masyarakat terutama anak-anak yang terserang ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Pada periode Januari hingga Juli tahun ini, kasus ISPA di wilayah Jabodetabek mencapai 100 ribu.

(Source : VOA)

Jika masyarakat Jabodetabek saja sudah kewalahan dengan polusi udara akibat asap kendaraan, pabrik dan pembangkit tenaga listrik, maka kondisi tercemarnya udara di Kalimantan akibat kebakaran hutan gambut, disinyalir lebih mengerikan.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan Barat menimbulkan dampak yang sangat serius bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di Kota Pontianak. Asap yang timbul dari kebakaran hutan dan lahan akan terlihat seperti awan yang berwarna putih keabu-abuan, coklat bahkan kehitam-hitaman dan semakin gelap warna asapnya maka akan menunjukkan konsentrasi bahan pencemamya (SO2, NO2, 03, CO dan PM10). 

(Source: UGM)

Dampak yang ditimbulkan dan kabut asap tersebut dapat menyebabkan kerugian di berbagai bidang, terutama kesehatan (menimbulkan penyakit ISPA, bronchitis, pneumonia, asma, bahkan iritasi mata). Kabut asap juga akan mempengaruhi terganggunya jasa transportasi baik udara, darat maupun laut serta menurunnya kegiatan usaha, pariwisata dan juga mengganggu proses belajar mengajar bagi murid sekolah.

Kasus kebakaran hutan di Kalimantan ini rasanya merupakan permasalahan yang tak kunjung padam. Sejenak padam, lalu kembali mencekam. Sebetulnya kenapa sih bisa seperti ini?


Sejarah Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) di Kalimantan 



Sebelum terjadi di Kalimantan Barat di medio 2023 ini, empat tahun yang lalu Karhutla terjadi di Kalimantan Timur. Kepala Seksi Pengendalian Kerusakan dan Pengamanan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur Shahar Al Haqq, mengatakan bahwa sejak Agustus 2019, karhutla sudah melanda beberapa wilayah Kalimantan Timur. Puncaknya pada awal September 2019. Menurut beliau, tiap kali fenomena El Nino melanda, karhutla di Kaltim pasti terjadi, namun tidak cukup mendatangkan asap. Jika saat ini Kaltim mengalami kabut asap, dipastikan kiriman dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

(Source : kaltimprov)

Sementara itu, terkonfirmasi sebaran hotspot di Kalimantan Barat berdasarkan pengolahan data Lapan oleh BMKG, sepanjang bulan Agustus 2019 terdapat sejumlah 7.655 titik api. Terbanyak terdapat di Kabupaten Ketapang yaitu sejumlah 2.126 titik api dan Kabupaten Sanggau sejumlah 1.440 titik api.

Sedangkan dari 1 September - 23 September 2019 di Kalimantan Barat terdapat 1.576 titik api.

(Source Berita Satu)

Lalu belakangan di medio 2023 ini, kebakaran hutan kembali terjadi di Kalimantan, yaitu :

- Kebakaran lahan di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Pantai Lunci, Kabupaten Sukamara pada hari Rabu (26/07/2023) pukl 15.05 WITA. Akibat kejadian ini lahan seluas ± 3 Ha terbakar. 1 Ha berhasil dipadamkan.

(Source Kemkes)

- kebakaran lahan di Desa Liang Anggang, Kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Rabu (21/06/2023) sekitar pukul 15.30 WITA. Vegetasi terbakar Bondong dengan luas ± 3 Ha

(Source Kemkes)

Sejak awal tahun, sudah ada data titik-titik api di Pontianak. Memurut data laporan dari masyarakat yang diterima oleh BPBD Kota Pontianak selama Januari 2023 telah ditemukan beberapa titik api di wilayah Kota Pontianak. Titik api pertama muncul pada 17 Januari 2023 dini hari di Jl.Purnama Ujung Kelurahan Parit Tokaya, selanjutnya tanggal 18 Januari 2023 terpantau terdapat 2 titik api di sekitar Wilayah Kota Pontianak yakni di Purnama  Mulya VI Kelurahan Parit Tokaya dan di Jl. Perdana Ujung, Parit Wak Janta Kelurahan Bansir Darat. Meskipun masih dapat di pantau, titik api ini sempat menimbulkan kabut tipis disekitar kecamatan Pontianak Selatan dan sekitarnya.

(Source PPID Pontianak)

Inhale ... Exhale ...

Begitu panjang kisah mengenai kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Padahal sebagaimana kita tahu bahwa pulau yang dikenal dengan julukan Pulau Seribu Sungai ini Selain kaya akan sumber daya alamnya, juga tercatat sebagai salah satu pulau terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 743.330 km persegi, Kalimantan adalah pulau terbesar ketiga di dunia, setelah Papua dan Greenland.

Tak hanya sebagai pulau terbesar ketiga di dunia, Kalimantan dipandang sebagai paru-paru bumi terbesar kedua di dunia setelah hutan hujan Amazon yang berada di Amerika Selatan. Sebab, Kalimantan masih mempunyai hutan hujan dengan luas mencapai 88 juta hektar. Sayangnya saat ini diperkirakan hanya setengah dari pulau Kalimantan yang masih tertutup dengan hutan hujan. Tercatat hanya 71% yang tersisa pada 2005. Sementara jumlahnya pada 2015 menyusut menjadi 55%. Jika laju penebangan hutan tidak berubah, Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta hektar hutan hingga 2020, artinya hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa.

(Source DW)


Penyebab Kebakaran Hutan Kalimantan 


Penyebab kebakaran hutan dibagi menjadi dua, yakni alam dan ulah manusia. Alam berisiko menyebabkan kebakaran ketika musim kemarau panjang tiba dan gunung berapi erupsi. Sementara ulah manusia bisa menjadi penyebab kebakaran hutan karena dipicu keteledoran dan faktor ekonomi.

Sementara di Kalimantan, secara umum penyebab langsung kebakaran hutan terjadi karena ulah manusia, yaitu pembakaran secara sengaja oleh oknum perusahaan yang memiliki izin konsesi (Yunianto,2020)[5]. Tindakan ini dilakukan karena dirasa sebagai jalan pintas yang efektif, efisien dan tak memerlukan biaya yang lebih banyak dibandingkan metode tanpa bakar (Putri, 2019)[6]. Pada level terbawah, hal ini diperparah dengan adanya oknum masyarakat yang diiming-iming melakukan tindakan membakar dengan sengaja demi uang dari oknum tertentu (Farisa, 2021[7].

(Source : UGM).


Dampak Kebakaran Hutan

1. Hilangnya habitat makhluk hidup

Kebakaran hutan dapat menghanguskan vegetasi dan berbagai tempat bersarang hewan, sehingga hewan dan tumbuhan kehilangan habitatnya.

2. Korban jiwa

Kebakaran hutan yang tak terkendali dapat menyebabkan korban jiwa baik akibat api maupun asap dan debunya. Bukan hanya manusia, tapi juga hewan

3. Polusi udara

Asap dan kabut yang dihasilkan dapat menjangkau jarak berkilo-kilometer, menyebabkan polusi yang melewati ambang batas sehat.  Polusi udara dari kebakaran hutan dapat mengakibatkan gangguan pernapasan.

4. Polusi air

Abu, sedimen, juga polutan hasil kebakaran dapat mengendap dan masuk ke dalam sungai, waduk dan sumber air lainnya. Vegetasi di sekitar sumber air yang hilang akibat kebakaran hutan juga dapat menyebabkan erosi, banjir dan masuknya polutan ke sumber air.

5. Pemanasan global

Kebakaran hutan melepaskan sejumlah besar karbondioksida, nitrogen oksida, belerang dioksida dan gas rumah kaca lain yang mendorong terjadinya pemanasan global. Partikel yang dilepaskan kebakaran hutan dapat masuk ke salju dan es lalu mengganggu kemampuan pemantulan sinar matahari, sehingga menyerap lebih panas cahaya matahari dan menyebabkan pemanasan global.

6. Berkurangnya bahan pangan

Tak hanya bahan pangan (sayuran dan buah-buahan), bahkan juga bahan bangunan dan juga bahan pembuatan tekstil.

7. Terganggunya fasilitas setempat

Kebakaran hutan dapat mengakibatkan rusaknya layanan listrik dan komunikasi juga jalur transportasi.

8. Terganggunya ekonomi

Terutama pada masyarakat yang mata pencahariannya bergantung langsung pada hutan.


Wah, ternyata demikian kompleks ya akibat dari kebakaran hutan dan lahan. Rentetan akibatnya bukan hanya pada manusia, tapi juga pada hewan. Sementara ranah yang terdampak juga tak hanya perkara polusi tapi juga bidang ekonomi, transportasi, komunikasi dan yang paling mengerikan adalah Pemanasan Global, yang berefek bahaya bagi kelangsungan hidup makhluk hidup di masa kini dan yang akan datang.

If we could turn back time ...

Masa di mana hutan Kalimantan pernah disebutkan sebagai hutan terbesar ketiga di dunia setelah Hutan Amazon dan Papua, karena memiliki luas 88 juta hektar, Indonesia menjadi paru-paru dunia.

Dilansir dari bbc.com, ada satu buku berjudul "The World's Wild Places', a Time-Life series" tentang Kalimantan yang diterbitkan 1970, berisi satu bab tulisan Sir David Attenborough berjudul Up Mt Kinabalu (Di atas Gunung Kinabalu). Dalam tulisan itu, Attenborough melukis secara jelas sebuah gunung yang berselubung keanekaragaman hayati yang tak tertandingi. Gunung Kinabalu (4.095m) merupakan yang tertinggi di Kalimantan dan kelima tertinggi di Asia Tenggara.

(Source : BBC)

Dalam artikel yang sama disebutkan pada tahun 1973 atau tak lama setelah tulisan Attenborough, 75% daratan Kalimantan yang merupakan hutan hujan tropis, sejak saat itu luas hutan hujan tropis itu berkurang hingga 30%. Wujud hutan itu pun berubah. Pepohonan di wilayah hutan yang cukup besar ditebang untuk perkebunan kelapa sawit.

Dengan fakta-fakta deforestasi hitan di Indonesia terutama di Kalimantan yang demikian masif, masihkah negara ini memiliki peluang untuk pulih? Memulihkan kembali hutannya agar bisa kembali berfungsi sebagai paru-paru dunia?

Tentu saja kita harus optimis, yakin bisa! Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan konsep 'Green Economy'. Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk bisa bergerak dibidang green economy. Dengan melakukan revitalisasi green economy , hal ini akan berbanding lurus antara hasil dengan kelestarian alamnya. 

Green Economy atau ekonomi hijau adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.

Lebih spesifik menurut United Nations Environment Programme (UNEP) yang dimaksud green economy atau ekonomi hijau adalah kegiatan ekonomi rendah karbon, menghemat sumber daya, dan inklusif secara sosial.

Green economy Indonesia ditopang oleh 6 sumber energi terbarukan yaitu 

1. Gelombang laut

2. Panas bumi

3. Bioenergi

4. Air

5. Angin

6. Panas matahari. 

Untuk mengoptimalkan energi terbarukan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan dibuatnya Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Melalui Perpres tersebut, pemerintah akan mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pada pasal 3 ayat 1, Menteri harus menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU. Peta jalan yang dimaksud adalah pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, percepatan pengakhiran operasional PLTU, dan keselarasan kebijakan lainnya.

(Source LAND X).


Green Economy dalam Kehidupan Sehari-hari



Menerapkan sistem green economy dalam kehidupan sehari-hari tak mudah, tapi bukan berarti tak mungkin. Dibutuhkan keseriusan dan konsistensi, tidak hanya dari satu pihak namun #BersamaBergerakBerdaya untuk menerapkannya. Misalnya, harus memiliki komitmen kuat untuk mengurangi karbon. Contohnya antara lain dengan mengurangi penggunaan listrik, mengoptimalkan transportasi publik, konsumsi makanan yang ramah lingkungan dan mengambil secukupnya agar tak bersisa serta mengelola sampah dengan bijak.

Mungkin kita harus ingat bahwa hidup bukan hanya untuk hari ini dan diri sendiri. Tapi masih ada masa depan yang akan dijalani oleh anak cucu kita. Menjaga alam hari ini, berarti mewariskan kehidupan yang baik #UntukmuBumiku di masa mendatang.


Yuk #BersamaBergerakBerdaya menjaga hutan!

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?