Skip to main content

Terima Kasih atas Semua Maaf untuk Bunda


Just The Two of Us

Sore tadi saya menyempatkan diri menjemput si sulung. Selain untuk menggenapkan langkah yang ditargetkan minimal 2Km perhari, juga untuk special time dengannya. Dan ini momennya pas, dia lagi puasa sunah. Niatnya, mau saya ajak beli takjil dan lauk apapun yang diinginkannya.

Jarak ke sekolah dia sekitar 1,1Km. Alhamdulillah nya sore. Mayan keringetan kalau jalannya siang bolong.

Pas sampai sekolah, langit tiba-tiba menghitam. Titik hujan berebut turun menjejak bumi. Dari yang awalnya gerimis, menderas hanya dalam hitungan menit.

Saya yang sama sekali nggak terpikir bawa payung, jadi kesal sendiri. Udah tau sekarang hampir tiap hari hujan, kenapa nggak kepikiran sih?

Satu-persatu siswa putih biru bermunculan dari gerbang. Kelompok pertama ini sepertinya bernyali cukup besar menembus hujan deras. Bukan cuma perkara badan basah, tapi barang bawaan juga. Rata-rata bawa laptop. Enggak khawatir gitu ya, laptopnya mandi hujan.

Tapi tiba-tiba saya ingat cerita si sulung, bahwa ada temannya yang cerita, HP-nya terjatuh. Masih hidup padahal. Eh lusanya sudah ganti dengan HP apel kroak keluaran terbaru sama Mamanya. Katanya agak gak enak pakai HP yang sudah jatuh.

Okesip, beda kasta kita, hahaha!

Ok kembali ke gerbang sekolah. Saya yang berdiri di samping waiting room, sibuk manjangin leher. Khawatir kelewat dan anak itu keburu pulang, nggak keliatan.

Dari kejauhan saat ia baru turun tangga, mata silindris saya sudah bisa melihatnya dengan jelas. Masya Allah dahsyat deh, namanya sama anak ya? Padahal kalau orang lain, jarak sejauh itu, saya pasti nggak ngenalin.

"Abang!" Saya teriak pas dia keluar gerbang.

"Bundaa!" Matanya terbelalak tak percaya saya menjemput. Memang nggak janji sebelumnya, sih.

"Mau nunggu?"

"Nggak usah, gerimisnya kecil gini, terabas aja yuk!" Begitu idenya yang langsung saya ikuti.

"Gaza diculik ibu-ibuu!" pekiknya lucu.

Kami menyeberang jalan, berdiri menunggu angkot.

"Maaf ya, nggak kaya ibu-ibu temen kamu yang jemput pakai motor atau mobil."

"Nggak apa-apa. Kalau nggak gerimis, malah maunya jalan aja sambil ngobrol."

Saya diam-diam tersenyum penuh syukur.

Di angkot yang cuma lima menit sampai mulut kompleks, kami mengobrol cukup banyak hal, sambil memindahkan laptopnya ke tas saya. Untuk mengurangi bebannya. Sungguh lho, isi tasnya kalau bawa laptop, berat sekali. Ya maklum, laptopnya jadul, bukan yang super slim. Tapi anak ini nggak komplain. Paling dia request untuk naik kendaraan umum jika diharuskan bawa laptop. Sepedanya parkir dulu di garasi.

Setelah turun dari angkot, mata kami jelalatan melihat beragam penjual makanan di mulut kompleks.

"Mau beli cakwe sama es kelapa buat takjil, boleh?" Dia menatap saya penuh harap.

Saya mengangguk.

"Makannya ayam Padang, boleh?"

Saya mengangguk lagi. Dia berbinar bahagia, "Asyik juga ya diculik ibu-ibu?"

Sisa perjalanan kembali kami membahas beragam hal. Mulai dari tes hafalannya tadi yang alhamdulillah bisa dia jalankan dengan baik. Soal beberapa temannya yang batal puasa hari ini dengan beragam alasan. Ada yang pusing, ada juga yang setia kawan, alias ikutan yang pusing.

Saya menatapnya dalam.

"Eh, Gaza masih puasa dong!"

"Ya keterlaluan minta segala makanan kalau udah batal mah."

Plus perkara ciee ciee.

"Kayanya si X naksir Gaza deh."

"Tau dari mana?"

"Soalnya bla bla bla ..." Dia bercerita panjang lebar.

"Abang suka?"

"Enggak, biasa aja, ya kaya ke temen-temen yang lain."

"Alhamdulillah. Saling suka antara perempuan dan laki di usia SMP itu wajar banget. Tapi ingat, kita manusia. Punya akal, punya rasa. Tidak sembarang perasaan boleh diungkapkan, boleh diekspresikan. Harus pintar menahan di ..."

"Ri!"

"Menjaga panda ..."

"Ngan."

"Jangan sampai berubah jadi do ..."

"Sa."

"Cakep."

"Apa sih yang bikin orang pacaran?"

"Mungkin karena kurang diperhatikan atau kurang disayang sama orangtuanya. Jadi cari tambalan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Mungkin lho ya, ini. Soalnya kalau perhatian dan kasih sayang yang didapat di rumah cukup, rasanya sudah gak perlu lagi tambahan di luar."

"Ooh."

"Yang pasti sih karena nggak tau, belum paham atau abai pada ayat larangan mendekati zina. Kalau paham, kan ngeri dosanya."

Dia mengangguk-angguk.

Nggak terasa kami sudah sampai ke rumah. Anak itu, sesuai nasehat saya, segera masuk kamar mandi.

Tinggallah saya merapikan baju-bajunya yang basah ke ruang cuci.

Dalam kondisi normal, dia disiplin mengerjakannya sendiri. Ini karena basah saja.

Lanjut menyiapkan buka puasa.

Di tengah itu semua, rasa haru mendadak menyelimuti kalbu.

Anak itu, yang dulu ditangisin karena nggak pernah nyenyak tidurnya akibat kolik. Yang harus dikejar-kejar saat mau pakai baju selepas mandi. Yang hobi meninggalkan potongan lego, sampai terinjak oleh saya, setelah membuat masterpiece pesawat terbang dan yang bikin guru TK-nya sibuk mencari setiap jam istirahat selesai, karena ingin main petak umpet. Pernah sekali waktu dia sembunyi, dan sang guru terlupa tak mencari. Baru tersadar setelah pelajaran dimulai beberapa menit, bahwa muridnya 'hilang' satu.

Ah sungguh, waktu berlari secepat kilat. Ia kini beranjak menjadi pemuda dewasa.

Saya tiba-tiba teringat seluruh kekhilafan dan kemarahan yang pernah ditujukan padanya. Adakalanya ia berbalik marah, mengajukan argumentasi panjang. Tapi tak jarang pula diam membisu.

Ah Bang, sudah besar sekarang ya. Selamat menjemput masa baligh sambil terus mempersiapkan diri agar bersamaan dengan itu, terbentuk pula aqil.

Tetaplah berpegang teguh pada Al Qur'an dan Hadis. Karena tak ada lagi nikmat hidup yang lebih indah dari itu.

Semoga Allah selamatkan dunia akhirat.

Terimakasih atas segala maaf yang selalu ada, untuk setiap jengkal kekeliruan Bundamu selama ini.

Sukahati, 22 Agustus
Pritha Khalida 🌷


Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?