Skip to main content

Sedekah Jangan Nanggung


Sore tadi saya bersama anak gadis dan si nomor dua ke minimarket. Begitu sampai parkiran, mata kami tertuju pada seorang anak pemulung berpakaian rapi dengan peci di kepalanya. Sepertinya dia masih sekolah, bukan anak jalanan. Si nomor dua menggoyangkan tangan dan menatap saya.

"Iya, Bunda tau kamu mau apa. Nanti ya."

Dia tersenyum senang.

Saya tentu saja paham, anak ini paling nggak bisa lihat pemulung, apalagi jika itu anak-anak. Hatinya mudah trenyuh, masyaa Allah.

Di dalam minimarket kami membeli beberapa kebutuhan. Si nomor dua mengingatkan saya untuk membeli makanan guna disedekahkan pada anak pemulung itu. Saya lalu mengambil roti berukuran besar.

"Minumnya?" Anak itu meminta lebih.

"Dia di rumahnya pasti punya minum."

"Emangnya dia pasti punya rumah?"

Glek! Baiklah.

Kami membayar semua belanjaan.

Anak itu bergegas akan menunaikan sedekahnya dengan bahagia. Tapi sejurus kemudian ia berbalik, "Uangnya mana?"

"Udah cukup itu, Aa."

"Kata Bunda, sedekah nggak boleh nanggung."

Glekk lagi! Lupa, kapan bilang gitu. Tapi emang bener sih.

Sampai akhirnya anak itu tersenyum riang bergegas menuju anak pemulung itu, sedikit berjongkok dan memberikan sedekahnya.

"Terimakasih De." Dari balik kaca terlihat anak itu berucap sopan. Iya, saya masih di dalam minimarket, nunggu kembalian. Si nomor dua mengangguk, mungkin bilang, 'sama-sama'.

"Ibu, terimakasih!" Ulangnya pada saya saat keluar dari minimarket.

Saya mengangguk tersenyum padanya.

Lagi-lagi, haru menyeruak dalam diri. Ya, saya mengajarkan anak-anak untuk berbagi semampu mereka sejak dini. Boleh uang, boleh barang, boleh juga jasa. Apa saja yang sekiranya akan bermanfaat untuk penerima.

Dan si nomor dua, adalah yang paling ingat dengan ajaran ini. Dia bisa sedih jika mendengar kisah orang yang kekurangan makan, tapi kami lagi nggak memungkinkan membantu.

Masya Allah tabarakallah. Jika Allah ridha jadikan anak ini sebagai ahli sedekah, semoga ia ingat memanggil ibunya di surga nanti.

Proud of you, Aa. Barakallahu fiik 💗💗

Penuh cinta,
Bunda

Ps. Katanya pas dikasih, anak itu lagi shalawatan. Lepas dikasih pun, setelah bilang makasih, kembali khusyu shalawat

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru