Skip to main content

Negosiasi sang Calon Ulama



Rutinitas pagi saya sama dengan sebagian besar ibu-ibu tanpa PRT pada umumnya, yaitu nyiapin sarapan, bekal snack dan makan siang.

Selesai sarapan, mengantar si sulung sampai pagar. Selanjutnya si nomor dua sampai pagar juga. Terakhir, anak gadis yang masuknya paling siang. Cuma dia yang sampai sekolah. Lalu saya akan pulang untuk melanjutkan pekerjaan domestik dan menulis.

Tapi hari ini lain. Sepeda si nomor dua bannya kempes. Dia mau tak mau hanya memiliki dua opsi, jalan kaki atau dipanggilkan ojol. Saya tak bisa nyetir motor. Sementara pakai mobil, butuh waktu lebih lama karena ambil jalan memutar, tak bisa lewat gang. Belum lah manasin mobil, kena lampu merah. Ribet lah pokoknya.

Pagi ini si nomor dua memilih opsi jalan kaki. "Tapi dianter Bunda."

"Enggak lah, kan Bunda mau nyiapin Ade sekolah."

"Please ..."

"Masih banyak urusan, Aa."

"Biar sambil murojaah. Nanti Bunda tulis di lembar tugas yang dari sekolah."

Hmm, iya juga ya. Pintar juga anak ini nego. Baiklah.

Sejak keluar pagar, ia menepati janjinya untuk murojaah. Lumayan nih sekitar 700m, dapat berapa surat ya?

Lagi mikir gitu, lewatlah guru sekolahnya.

"Aa nggak bareng Ustadz?"

Dia menggeleng, "Kan lagi murojaah."

Lalu kami berjalan lagi. Nggak lama, ada ibu-ibu bermotor membonceng anaknya dengan seragam yang sama. Menawarkan tumpangan. Saya nggak kenal sih, tapi manatau dia kenal dan ingin numpang. Tapi jawabannya masih sama, ia menolak karena ingin murojaah.

"Lagian nggak kenal, itu santri kelas satu," kilahnya.

Sekitar 200 meter mau sampai, ada lagi motor berhenti menawarkan tumpangan. Kali ini sahabat baiknya sejak kelas satu. Saya menatapnya. Ia kembali menggeleng.

"Nggak mau ceunah, Teh. Mau murojaah," tolak saya pada ibunda sahabatnya.

Sekitar 50 meter menuju sekolah, murojaahnya selesai, alhamdulillah. Kami mengobrol ringan saja.

Melepasnya di gerbang sekolah, mencium keningnya setelah ia salam, sungguh momen yang andai nggak ada banyak orang, mungkin saya sudah nangis.

Shalih ya, Aa. Doa di setiap hela nafas selalu tertuju untuk kalian, amanah-amanah terbaik dari Allah.

Masya Allah tabarakallah ...

Bunda yang mendadak cengeng

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru