Skip to main content

Saat Anak-anak Bujang Menghilang



Jam segini baru bisa mikir bener, tenaga baru kumpul, badan sehat full. Masya Allah ...

Beda banget sama siang tadi, dimana seluruh persendian serasa dilolosi satu-persatu, kepala nyeri, mual dan munt*h. Semya gara-gara anak-anak bujang menghilang.

Inhale ... exhale ...

Dimulai dari waktu shalat jumat, suami pergi duluan. Karena si sulung yang baru pulang sekolah masih capek katanya, nanti dia nyusul. Ok lah, waktunya masih cukup kok.

Sepuluh menit kemudian, saya mengingatkan si sulung untuk segera Jumatan. Meski tampak lemas, dia segera pergi. Di luar terdengar suara si nomor dua. Lah rupanya dia gak bareng ayahnya? Ah mungkin nunggu abangnya. 

"Bunda, Nailah ikut Jumatan sama Abang!" Jeda beberapa menit si nomor dua balik lagi.

"Eh suruh pulang atuh," Saya karena lagi nyuci di dapur, nggak ngeh kalau anak gadis yang terakhir masih main boneka, ternyata ngabur.

"Gak mau dianya."

"Bujuk lah."

"Ya udah deh, assalamualaikum!"

Gak lama anak gadis pulang. Syukurlah, mungkin dia gak nyaman juga liat isi mesjid kampung sebelah laki-laki semua, gak kaya di mushala kompleks yang ada teman-teman perempuan sebayanya.

Sekitar 30-40 menit kemudian, suami pulang pakai motor sendirian.

"Anak-anak tadi Jumatan?"

"Lho emang gak ketemu?"

"Nggak, aku di shaf depan soalnya. Tapi tadi pas bubar, gak ada. Main dulu apa ya?"

"Mungkin."

Saya masih tenang, mungkin mereka mampir rumah temannya atau sekadar cari belalang di kebun dekat masjid.

Jelang satu jam dari bubar Jumatan, saya mulai resah. Bukan kebiasaan anak-anak main selama ini. Biasanya setengah jam laporan, perpanjang atau pulang. Sudah mendung pula. Suami berinisiatif mencari ke rumah teman-temannya di kompleks. Saya menghubungi ibu-ibu tetangga.

Nihil. Baik hasil pencarian suami, maupun jawaban tetangga. 

Waktu terus merangkak naik. Hujan mulai turun. Suami kembali mencari, kali ini keluar kompleks, ke dua arah berbeda, utara dan selatan radius 1Km. Saya di rumah sama anak gadis. Dzikir aja, mencegah pikiran melayang kemana-mana. 

Curhat ke Ustadzah Sayyidah Murtafiah Djauhar , dinasehatin untuk sedekah sambil terus memohon supaya Allah lindungi anak-anak. Ok, saya ikuti.

Deru motor suami terdengar. Tapi ah, lagi-lagi dia cuma sendiri. Kepala saya mulai berdenyut hebat, tenggorokan mual. Dan tiba-tiba isi perut mendadak keluar. Bukan munt*h2 hebat kaya orang mabuk kendaraan, enggak. Sekadar memenuhi rasa mual yang teramat sangat sepertinya.

Allahu Akbar, di mana anak-anak?

Segala pekerjaan terhenti, alhamdulillah teman-teman paham. Saya tak henti berdzikir.

"Aku udah nggak ada clue mereka kemana, Bun." Suami tampak sangat panik. Gimana enggak, udah 2 jam lebih sejak selesai shalat jumat.

"Aku mau nanya sama Allah." 

Saya lalu berwudhu, menggelar sajadah. Belum juga mulai, pandangan kabur, tampak hijau dan kuning dengan sekeliling yang terasa berputar. Oh Allah, kenapa ini? Panic attack? 

"Tenang, Prith." Logika mencoba mengambil alih komando.

Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.

Di tengah pandangan yang mulai samar itulah, ujung mata saya melihat dua anak memasuki teras.

"Abang! Aa!" Lalu saya rebah dengan mukena masih terpasang.

Nggak pingsan, saya sadar. Tapi memang kondisi badan lemas sekali. Tadi sempat mau membatalkan puasa. Tapi saya ingat, munt*h kalau gak sengaja, gak batal. Lagipula saya ingin tetap puasa, biar doanya lebih cepat sampai ke langit.

"Bundaaa!" Si nomor dua berlari ke arah saya setengah menangis. Abangnya awalnya tenang. Tapi begitu melihat saya menangis, dia datang, memeluk dan minta maaf. 

Saya diam aja. Antara pusing, senang tapi masih ada sejumput kesal yang coba disimpan sambil mendengar penjelasan mereka.

"Bilal ikut Abang aja. Kata Abang, dia tau jalan lain ke rumah kita, lewat gerbang depan, yang jalannya lewat kompleks sebelah."

Yang diomongin mematung ketakutan.

Si nomor dua melanjutkan, "Pas udah lama, Bilal udah capek, Abang bilang lupa jalannya. Jadi kita muter-muter aja di situ."

"Pas hujan kalian di mana?"

"Berteduh di Masjid X." 

"Allah, itu kan jauh."

"Iya tadi kita ketemu mas-mas dua orang, kaya santri bajunya. Ditanya, lagi ngapain? Rumahnya di mana? Mereka bilang, jauh juga ya. Terus pas ujannya udah reda, kita jalan lagi. Ketemu sama anak-anak segede Abang. Dia nanya, kamu mau kemana? Kita bilang mau pulang tapi lupa jalan. Akhirnya dia tunjukkin sampai keliatan gerbang kompleks."

"Dia tau?"

"Katanya dia punya teman yang tinggal di sini, dia suka main kesini."

"Masya Allah alhamdulillah."

"Bilal udah tau, Bunda pasti marah. Bunda pasti nyariin. Maaf ya?"

Saya cuma ngangguk pelan. Lambung mulai terasa nyeri. Efek mual munt*h tadi kah? Entahlah.

Lepas berbuka, nyeri di lambung belum juga hilang. Kepala masih nyeri. Tadinya mau tilawah, tapi tenaganya nggak sampai. Mukena dilepas lagi. Buru-buru naik ke kasur. Dah nggak ingat apa-apa lagi.

Jam 9 terbangun. Sempat kaget, kirain subuh. Mau nangis karena ingat belum shalat Isya.

Tiba-tiba si nomor dua nyeletuk, "Bunda tadi tidur apa pingsan sih? Dibangunin gak bisa."

"Oya?"

"Iyaa."

"Nggak tau."

Mungkin Allah yang tidurkan amat sangat nyenyak, supaya tenaga kembali pulih. Dan alhamdulillah sih segala nyeri lambung, pusing dan lainnya itu hilang. Tenaga saya kembali pulih jam 21.30 tadi.

Hufft ...

Cuma Allah yang Maha kuasa memulangkan mereka dengan cara-Nya.

Saya semakin tau, bahwa badan saya demikian ringkih jika menyangkut urusan anak-anak.

Makasih ya Allah, anak-anak udah kembali tanpa kurang suatu apapun. Makasih udah mempertemukan mereka dengan orang-orang baik selama di luar jangkauan kami. Semoga banyak hikmah yang bisa mereka pelajari dari kejadian siang tadi.

Pritha Khalida 🍓

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru