Skip to main content

Buka Puasa dengan Homemade Catering Soul In a Box

Kesibukan saya sebagai seorang ibu bekerja, terkadang bikin bingung perkara masakan. Mau masak apa lagi nih, buat disajikan ke keluarga? Meski sebetulnya suami dan anak-anak nggak neko-neko perkara makanan, tapi syarat utama agar asupan yang masuk ke dalam tubuh harus halal, thoyib (baik) dan enak merupakan syarat mutlak.

Menggunakan layanan delivery merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Mudah sih tinggal buka app ojek online, maka akan terpampang aneka jenis masakan yang bisa dipiilih sesuai selera. Pertanyaan selanjutnya, apakah halal, thoyib dan enak--dalam artian sesuai dengan selera kami sekeluarga?

Sampai akhirnya di awal Ramadhan lalu, saat menyadari bahwa schedule pekerjaan dan kuliah online sangat padat, saya mulai berpikir untuk mencari alternatif catering makanan.

Seorang sahabat merekomendasikan Soul in a Box. Katering makanan yang berlokasi di Cilandak Jakarta Selatan ini menurutnya menyediakan menu ala rumahan yang bersih dan enak.

"Cobain deh, enaknya tuh dari rempah, bukan penyedap." Begitu sahabat saya bilang. Ia bahkan memfotokan menu buka puasanya.

"Cuma 40 ribu dapat menu sebanyak ini. Ada nasi, prohe, sayur, sambal dan takjil. Isiannya juga banyak, lho!"





Sahabat saya mengirimkan foto-foto menu catering yang dipesannya di Soul in a Box. Sungguh menggoda. Pandangan saya tertuju pada label kemasannya. Ada pesan dakwah di sana. Wow keren bangeet, nggak cuma memenuhi syarat kenyang, tapi juga mengingatkan kita akan filosofi makanan yang sesuai syariat.

Nah sekarang pertanyaannya, ini kan Catering Jakarta, nyampe nggak ke tempat tinggal saya di Bogor?

Segera saja saya menghubungi kontak whatsapp yang diberikan. Awalnya adminnya agak ragu. Baru keesokan harinya mereka memastikan, insya Allah bisa sampai ke Bogor dengan pemesanan minimal 3 kotak. Oke, saya pun segera pesan menu untuk hari Kamis tanggal 7 April. Oya pemesanan bisa dilakukan pada H-1 sebelum pukul 5 sore ya.

Dan, taraa!



Pesanan datang sesuai menu yang tertera di tanggal tersebut. Nasi box berisi nasi putih, sauted kentang, cah wortel jagung, Dori crispy with lemongrass sauce dan sambal. Oh ya, masih plus kolak sebetulnya. Tapi nggak terfoto, keburu tandas oleh anak-anak.

Dan tanpa saya sadari, menu tersebut (yang saya pesan 2 hari sebelumnya), ternyata datang tepat di hari ulangtahun saya. Padahal pas pesan, niatnya bukan buat perayaan itu sih. Cuma karena melihat schedule pekerjaan dan kuliah yang demikian padat di hari tersebut. Maka dengan ditambahkan satu cake kecil oleh suami, rasanya kaya ulangtahun sungguhan, hahaha!

Teman saya nggak bohong, rasanya memang ala rumahan banget. Rempahnya terasa, bukan ala penyedap sintetis yang kadang suka nyangkut di tenggorokan. Dan yang terpenting, anak-anak dan suami saya suka. Yeay, alhamdulillah!

Pemesanan dari Jakarta ke Bogor, mahal di ongkir, dong? Enggak juga, cuma beberapa belas ribu aja, nggak jauh beda sama kalau pesan makanan di app ojek online dengan jarak dekat. Makanan diantar sekitar pukul 15-17 sebelum waktu berbuka puasa tiba. Untuk sahur, Soul in a Box berkomitmen mengantarkan makanan sekitar pukul 2-3 dini hari. Sepertinya layak dicoba, nih.




Anda mau coba juga? Percayalah, ini sungguh enak. Mengingatkan kita akan masakan-masakan dapur ibu. It's a very recommended meal box

Salam hangat,
Pritha Khalida 🍓

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru