Skip to main content

Isteri Kaya Bunda



Masih takjub dg kemampuan anak bujang bikin seneng emaknya, masya Allah tabarakallah.

Jadi tadi dua bujang berantem. Yang satu ngeyelan, satunya bete berat jadi terpancing esmoni.

Saya seperti biasa, diem di tengah jadi wasit.

Jelasin panjang lebar duduk perkaranya sampai keduanya paham dan berdamai.

Si nomor dua langsung cuss disuruh ayahnya. Tinggal si sulung.

"Kesel Gaza ngasitau Bilal tuh, susaaah banget!"

"Sama, kamu juga gitu, keras kepala."

"Ya tapi kalo Gaza ..."

"Nah itu salah satu ciri orang keras kepala, segalanya pake 'tapi'. Apa-apa tuh harus diendapkan, tarik napas, buang, istighfar. Jangan emosian."

"Susah Bun, udah sering bikin kesel."

"Belajar. Kamu pikir Bunda bisa gini ujug-ujug?"

"Iya, turun dari langit."

"Emang ujan? Dengerin, kemampuan menahan diri dari nafsu itu diperlukan dalam banyak tempat. Di kantor, sekolah, lingkungan main, keluarga besar dll. Pokoknya orang yang bisa mengelola emosi itu hidupnya gak akan banyak masalah. Termasuk kalau kamu udah nikah, punya anak. Anaknya bakalan senang curhat sama kamu, percaya kalau kamu bisa dijadiin tempat cerita apa aja."

"Ya tapi kan yang bisa gini tuh perempuan."

"Siapa bilang? Perkara sabar bukan cuma perempuan. Emang Islam ngajarin sabar dan syukur dikhususkan buat perempuan? Enggak."

"Berat ini ..."

"Sabar? Ya iya bayarannya surga, bukan kuota."

"Bukan, berat nyari isteri yang sabar kaya Bunda. Yang tahan ngadepin anak yang ngeselin. Bisa dapet di mana?"

Sesaat dunia terasa berhenti berputar.

~ Berat nyari isteri yg sabar kaya Bunda

~ Bisa dapet di mana?

Pak suami, coba didenger ini omongan anak sulungnyaa!

Besok uang jajan ditambahin, Bang 😎

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru