Skip to main content

Cita-cita Melanjutkan Kuliah Magister Psikologi di Usia Kepala Empat

Cita-cita Melanjutkan Kuliah Magister Psikologi di Usia Kepala Empat


Menjadi Psikolog merupakan cita-cita saya sejak kecil, tepatnya kelas 2 SD. Dimulai dari hobi membaca artikel Psikologi di tabloid milik Mama, saya jatuh cinta pada profesi ini. Di mata saya, Psikolog itu keren. Ada orang datang dengan masalah apa saja, entah anaknya nakal, suaminya galak, nggak percaya diri dan lainnya, eh ... selalu dia punya solusinya.

Beranjak dewasa bacaan tema Psikologi saya bertambah banyak dan variatif. Mulai dari Psikologi anak, pernikahan, sampai gangguan jiwa. Semakin bertambahlah kecintaan terhadap bidang studi yang satu ini. Ingin jadi Psikolog, supaya bisa membantu orang lain memahami dan memberi alternatif solusi atas masalah yang mereka alami.


Sampai akhirnya cita-cita itu menemukan jalannya. Lepas SMA saya masuk ke Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Di situ saya baru sadar, bahwa mendalami ilmu Psikologi itu nggak gampang. Banyak materi rumit yang harus dikuasai. Tak hanya itu, kita juga harus memiliki kemampuan menghadapi beragam tipe karakter individu. Wow, bagi orang introvert macam saya, sungguh ini ujian yang cukup menantang. Bagaimana bisa mengempaskan rasa nggak nggak pede bertemu dan berkomunikasi langsung dengan klien.

Hingga akhirnya lulus menjadi Sarjana Psikologi, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa jika mau menggapai cita-cita jadi Psikolog, harus kuliah lagi ke jenjang Magister. Sayangnya terkendala biaya, saya waktu itu memutuskan sementara cukup sampai S1 saja dulu.

Lulus, bekerja, menikah dan punya anak merupakan rangkaian skenario kehidupan yang saya jalani. Oya saat kuliah, saya cenderung memilih Psikologi di rentang usia anak dan remaja, ditinjau dari ranah Pendidikan dan Klinis. Jadi dulu itu kan ada banyak mata kuliah praktikum yang meliputi semua bidang. Nah, saya paling suka kalau harus menghadapi subjek anak dan remaja. Mungkin salah satunya karena karakter introvert tadi itu. Anak dan remaja kan usianya di bawah saya, jadi bikin lebih percaya diri ketimbang harus berhadapan dengan orang dewasa.
 

Time flies ...
Saat satu-persatu anak-anak saya bertambah besar, keinginan untuk kuliah lagi di S2 Magister Psikologi Pendidikan, kembali tumbuh. Berpengalaman dengan 3 orang buah hati yang saya tangani langsung pendidikan dan pengasuhannya, membuat bidang ini terasa makin saya inginkan. Bukan karena mudah, justru sebaliknya karena sulit. Tapi dari kesulitan yang ada, selalu memberi ilmu baru untuk saya. Mengayakan pemahaman diri.

Mulailah saya browsing program Magister Psikologi yang ada di daerah Jakarta, Bogor dan Depok. Ya itu saja, supaya dekat dari tempat tinggal saya di Bogor. Ada beberapa pilihan mulai dari Universitas Negeri dan Swasta yang menarik. Pilihan utama tentu ke Universitas Indonesia. Selain akreditasnya baik, ya ... siapa sih yang nggak ingin masuk kampus negeri?

Saya mulai mencermati syarat-syaratnya. Biayanya lumayan juga ya, ini artinya saya harus mulai ketat menabung. Selain itu ada persyaratan lain, salah satunya adalah skor TOEFL minimal. Walah, Bahasa Inggris saya sudah menguap banyak sepertinya. Pasalnya sebagai ibu rumahtangga, sangat jarang sekali bahasa asing satu ini dipakai, baik dalam percakapan maupun tulisan. Satu-satunya kata dalam Bahasa Inggris yang sering saya dengar adalah dalam bentuk tontonan, mulai dari taushiyah ulama luar sampai dialog film.



Ikut Kursus Bahasa Inggris sepertinya mutlak dilakukan. Tapi di mana? Kalau ikut offline, nanti bareng sama murid-murid SMP. Berarti online saja lah.

Berselancar di dunia maya terutama medsos, banyak English Course yang menawarkan berbagai program menarik. Seorang sahabat baik merekomendasikan Lister. Katanya ada banyak program menarik di Lister mulai dari Kursus IELTS, Kursus Persiapan TPA, Kursus Persiapan TOEFL IBT sampai. Kursus Persiapan TOEFL IPT.

Dilihat dari rentang usia, ada juga Kursus General English Dewasa. Jadi nggak perlu khawatir bakalan sekelas sama siswa SMP atau bahkan SD.

Secara spesifik, ada Kursus Business English dan Academic English. Kayanya yang terakhir ini cocok buat saya deh. Untuk kuliah kan nggak butuh sekadar bisa memahami Bahasa Inggris sehari-hari atau Daily Conversation tapi juga Bahasa Inggris ilmiah. Dan di Academic English, kemungkinan besar inilah yang akan diajarkan.

Saat melihat bahwa di Lister ada program Free Trial Class, saya mencoba mendaftar untuk English Academic.

Masya Allah seru banget ternyata kelasnya. Saya kebagian tutor seorang Ibu yang nggak cuma lancar Bahasa Inggrisnya tapi juga sabar membimbing, namanya Mbak Wanda. Beliau memperkenalkan program ini dengan sangat detail. Tak hanya silabusnya, bahkan buku panduan yang dipakai pun diperlihatkan pada saya.

Mbak Wanda juga memberitahukan bahwa ada program Reguler dan Private. Dimana salah satu perbedaannya adalah jika di Reguler, materi sudah fix untuk setiap pertemuan. Sementara di kelas private, menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Itulah kenapa untuk kelas private, calon siswa diharuskan mengikuti Placement Test.

Tak hanya Bahasa Inggris, Lister juga menyediakan Kursus Bahasa Jerman, Kursus Bahasa Belanda sampai Kursus Bahasa Korea General. Cukup lengkap kaan?

Ah ya, sepertinya saya akan ikut yang Academic English saja. Insya Allah nanti jelang mendaftar kuliah S2.

Teman-teman ada yang butuh kursus bahasa asing juga? Coba ditengok, barangkali ada program yang cocok di Lister.




Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru