Skip to main content

Anak Malas, Ortu Gak Perlu Ngegas


Anak Malas, Ortu Gak Perlu Ngegas

Adakalanya anak malas ke sekolah. Alasannya bisa macam-macam mulai dari capek, jenuh, belum bikin pe er, gak suka pelajaran tertentu, gak suka guru tertentu, bermasalah sama teman, atau ya #Malas itu sendiri, tanpa tambahan alasan apapun.

Sebagian dari kita (been there done that), akan merespon dengan ngomel, ceramah atau membandingkan dengan kita di masa lalu yg pastinya diceritakan yang lebih baik.

"Kamu udah dianter, tinggal duduk sampai. Dulu Ibu jalan kaki sekian kilometer, gak ada uang jajan pula bla bla bla."

Atau, "Nak, jangan banyak alasan. Jika para Nabi dulu banyak alasan saat berdakwah, agama ini gak akan bisa maju."

Atau, "Enak aja gak sekolah. Heh, sekolah tuh bayar, pake uang, bukan daun. Kamu nggak sekolah, SPP nya sama. Gak ada diskon. Papa kerja keras, kaki di kepala, kepala di kaki buat bayar sekolah kamu!"

Di saat seperti itu, gak bakalan masuk, percayalah (karena saya pernah, hehe!)

Jadi pagi tadi saat ada satu anak saya yang menunjukkan gejala malas sekolah dengan alasan pusing, bada subuh tidur lagi, saya pegang keningnya. Gak demam, tuh. Hampir fix, alasan ala ala.

Saya biarkan dia tidur sampai batas waktu tertentu, "Ya udah tidur aja, tar sepuluh menit lagi Bunda kesini lagi bangunin."

Pas sisa 5 menit, teriak, "Tungguin ya, lima menit lagi, yuhuu!"

Teriak dengan happy, bukan bernada mengancam, "Awas gak bangun juga, siram ya!"

Kalopun gak bisa beneran happy, pura-pura juga gapapa. Bentar, untuk kebaikan.

Pas lagi nyiapin sarapan, petunjuk datang. Ustadz wali kelas menyampaikan agar siswa nggak lupa mengumpulkan tugas sekaligus pengumuman pelajaran itu akan Ulangan Harian.

Oh, jangan-jangan nih anak belum belajar, atau malah belum ngerjain pe er.

"Bangun, yuk."

"Pusing."

"Mandi aja dulu."

"Dingin, menggigil."

"Kalau gitu, makan dulu. Sambil dimasakin air. Ntar abis mandi, dipijat bentar pake minyak bidara, biar semangat trus terhindar dari gangguan j1n."

"Tapi gak kuat, mata panas."

~Panasan matahari #eh

"Kamu belum ngerjain pe er ya?"

"Mmmh, uu daah."

Paham ya, kalo jawabnya gugup artinya Be-Lum.

"It's ok kalau memang belum, tetaplah sekolah. Jujur aja, lupa atau apa lah. Terima kalau dikasih sanksi. Gak bakalan ditelen, kok. Paling dikasih tambahan."

"Tapi bukan itu."

"Ulangan? Gapapa kl belum belajar, di sekolah aja. Bukan jam pertama, kan? Kalo jelek, ada fasilitas remed. Bisa dimanfaatkan."

"Aduuh, pusing!"

"Yuk peluk dulu. Everything is gonna be ok. Gak akan seburuk yg kamu pikir. Percaya deh! Ayo cepetan."

Terseok, anak itu akhirnya jalan ke ruang makan. Makan, mandi, seragaman dan ... Pergi Sekolah. Yeay, alhamdulillah!

Keringetan pagi-pagi kesabaran udah diuji. Mana suami lagi pergi. Semua serba sendiri (lah kok jadi curhat). Bersyukur gak kebawa emosi. Padahal pengen ngomel sih, asli! Tapi sadar kalo kaya gini bukannya ngasih solusi, malah tambah masalah lagi.

Anak-anak berharap ibunya kaya Ummanya Nussa Rarra. Kita orangtua, ngarep juga anaknya semanis Nussa Rarra. Tapi kalau kedua pihak cuma berharap tanpa ada yang memberi teladan dengan maju duluan, semua hanya tinggal impian.

Btw pulang sekolah anak itu happy. Selain karena UH nya gak jadi, jaket angkatan udah selesai, dibagikan tadi.

Andai tadi pagi pakai teknik ngomel, ceramah atau cerita sejarah, mungkin nggak akan begini. Alhamdulillah Allah kasih sabar extra.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷
Yg setelah anak-anak berangkat, ngasih self-reward jajan martabak telur fav. I did it!

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru