Skip to main content

Membentuk Imunitas, Mencegah Pemahaman Keliru Pada Anak



Kemarin saya nonton kelas parenting via zoom, pembicaranya Kak Sinyo Egie. Agak deg-degan juga nonton live gini, karena biasanya baca tulisan beliau aja, suka bikin terkaget-kaget dengan fakta yang dipaparkan.

Tadinya saya ragu untuk posting, karena akan ada banyak kata sensitif yang biasanya kena semprot juragan empunya medsos, yg biasanya suka bikin akun disetrap. Berhubung banyak yang minta sharing ilmu, baiklah saya tulis.

Solusinya saya akan acak kata-kata sensitif entah pakai kombinasi huruf-angka, strip dll. Saya harap semuanya paham dan nggak ada yang nanya di kolom komen, itu maksudnya apa?

Ayah-Bunda, tau nggak sih kalau jaman now yang namanya keja hatan s3k sual itu udah beda sama jaman old. Kalau dulu saat mendengar kata itu, pikiran kita langsung tertuju pada pele cehan yang dilakukan oleh lelaki dewasa pada perempuan dewasa atau anak perempuan, sekarang nggak gitu.

Bisa jadi OLEH SIAPAPUN, PADA APAPUN
1. Lelaki pada perempuan atau sebaliknya
2. Lelaki pada lelaki/perempuan pada perempuan
3. Lelaki/perempuan pada benda
4. Lelaki/perempuan pada binatang

Iya, serius! Kak Sinyo bahkan bercerita sampai ada ayam yang menghadap Ilahi gara-gara kega nasan makhluk bernama manusia. Naudzubillahimindzalik!

Berangkat dari fakta ini, maka didik anak sejak dini untuk menutup auratnya dan tidak mengizinkan siapapun untuk melihat dan menyentuhnya kecuali dirinya dan jika ia sakit, orangtua dan dokter boleh. Termasuk biasakan sejak kecil anak-anak laki-laki sekalipun jangan dipakaikan celana pendek. Ini bisa (dan banyak kejadian), memancing pre da tor s3 ksu4l.

Bertambah usia anak, maka patuhi aturan syariat,
“Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur di antara mereka” (HR Abu Daud)

Dipisahkan itu bukan cuma anak perempuan dengan laki-laki, tapi sesama laki-laki/perempuan juga ada aturannya. Jika sekamar, jangan seranjang. Jika tidak memungkinkan karena rumah sangat mungil, maka jangan sampai satu selimut.

Kenapa?
Hey, udah banyak kejadian in c3st, hubungan s3k sual antar sibling (mahrom), nggak cuma saudara laki-laki dan perempuan, tapi juga sesama je nis. Bahkan belum lama kita dengar berita ada seorang ibu dengan anaknya, bukan? Naudzubillahimindzalik.

Pada laki-laki yang sudah baligh, sp3r m4 tozoid akan diproduksi setiap tiga hari. Itulah kenapa dalam rentang waktu itu laki-laki akan merasa resah. Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan s3k sual yang memadai dari orangtua di keluarganya, maka ia akan mencari sendiri jawabnya di luar, baik dari teman atau nanya Om Google.

Keduanya tentu bukan narasumber yang baik. Akan dengan mudah tersaji di hadapan mereka segala bentuk p0r n0 grafi baik sekadar foto, video bahkan konten games (Kak Sinyo menyebut Hent*i dan Pu*G yg sarat dengan konten triple x).

Dari gambar dan video itulah laki-laki ABG memulai 'petualangan' mereka, dan melakukan self service (paham lah gosah dijelasin ya). Kepuasan timbul karena meningkatnya kadar dopamin di otak.

Karena asyik ya diulang. Sayangnya ini nggak akan bertahan lama. Peningkatan metode diperlukan, butuh yang real. Akhirnya menjajal pacaran. Masalah muncul, punya pacar perempuan itu gampang dideteksi, nanti dilarang. Lagian kalau sama perempuan bisa hamidun. Solusinya apa? Ya sama laki, masukin ke r3k tum. Ini juga bisa meningkatkan dopamin.

Nggak punya partner? Ya ganti pake apa aja, timun kek, botol kek.
Hueks, jijik ya? Tapi kita perlu tau, biar bisa mencegah atau mendeteksi anak-anak, ya Ayah Bunda.

Itu tadi laki-laki ABG. Lain lagi dengan perempuan ABG, Bestie. Mereka ini agak susah tracing-nya. Kenapa? Karena mainnya peer atau berkelompok. Dan menekankan pada perasaan.

Jadi kalau laki-laki stres, pelampiasannya bisa n4rkob4 atau s3 ks, perempuan lebih ke menyakiti diri atau bahkan su1 cide. Makanya mereka memilih curhat kalau ada masalah. Cilakanya kalau curhatnya berlebihan, baper, nah udah deh bisa kejeblos ke les piano. Ini juga mendeteksinya gak semudah ke antar laki-laki ya, karena lebih lumrah kan ngeliat perempuan jalan bareng, gandengan kaya truk.

Kuncinya apa? Pahami anak dengan sungguh-sungguh.

Kelanjutan dari mengajarkan anak menjaga tubuhnya terutama perkara aurat adalah jangan merusak anak perempuan (untuk laki-laki) dan jangan mau dijadikan per ek--perempuan eksperimen (untuk perempuan).

"Hey Jang, kalau kamu gentle, tunggu sampai mapan, ajak Mamah ke rumah orangtua perempuan yang kamu suka, kita lamar."

"Neng, jangan mau kalau ada laki-laki yang ngajak pacaran. Dia cuma mau merusak kamu. Gosah bucin, kalau dia beneran cinta, dia akan menghadap Mamah dan Papah untuk melamarmu. Tunggu saja."

Gitu ya, bilang ke anak-anaknya yang udah baligh.

Tapi, ada orangtua yang kalo ngomong gak dipercaya sama anak atau dianggap angin lalu. Karena anak lebih suka denger kata temennya. Atau di jaman now lebih suka nyimak kata idolanya di internet.

Kita harus pantang menyerah, Ayah Bunda. Yuk belajar berkomunikasi secara sehat.
1. Taro gadget pas ngobrol
2. Sediakan waktu untuk mendengarnya dan memberi masukan padanya
3. Tatap mata anak saat bicara, jika diperlukan genggam tangan atau peluk
4. JUJUR akan apapun yang disampaikan pada anak, ini akan membentuk TRUST
5. Konsisten
Saat kita mengajarkan hal baik, tapi ternyata di kemudian hari kita sendiri melanggarknya, maka meminta maaflah, akui kalau itu salah. Jangan banyak dalih. Nanti anak bingung.
6. Update dengan hal-hal yang diminati anak, jangan gak tau apa-apa tapi langsung melarang. Dengan begini anak merasa dipahami. Jika sudah dipahami, maka nasehat akan lebih mudah masuk. Contohlah games, dia selalu menyemangati pemainnya untuk up level. Kalaupun gagal, akan ada joki push rank. Eh maksudnya kata-kata penyemangat, "Just try again!" atau "You can do it!" Ya semacam itu lah. Yang akan bikin si pemain percaya sampai gak mau berenti.

Patokannya, ini yang paling penting, jika anak sudah PERCAYA pada orangtuanya, maka di situlah IMUNITAS akan terbentuk.

Boleh jadi akan ada masanya anak kejeblos misalnya mencoba r0k0k karena dipaksa teman-temannya, kalo nggak berani dikatain. Anak yang terbentuk imunitasnya, dia akan segera sadar dan kembali ke keluarganya. Bisa dengan diam-diam cerita ke ibunya sambil bilang nyesel misalnya. Intinya mengakui, jujur atas kesalahannya. Karena dia yakin keluarga akan menerimanya.

Tapi anak yang nggak atau belum terbentuk imunitasnya, saat dihadapkan pada situasi serupa, akan santai saja ikut mer0k0k. Boro-boro jujur sama orangtua atas kesalahannya. Yang ada justru makin sembunyi dan menjauh. Mikirnya, "Apaan sih ayahku aja gak peduli sama aku." Atau, "Ah ibuku galak, kalau dia tau yang ada aku dipu kul."

Sedikit tambahan terkait ini, saya lantas teringat pada fitrah s3k sualitas yang disampaikan oleh Ustadz Harry Santosa allahuyarham, seperti ini tahapannya :

Usia 0-2th anak harus dekat dengan ibunya, nah ini fungsi mengASIhi ya, Buibu. Tatap matanya, bukan tatap gadget. Belai tubuh mungilnya, ajak berkomunikasi dengan penuh kasih sayang.

Usia 2-6 tahun dekatkan dengan kedua orangtua. Di sini anak akan melihat kegagahan ayahnya dan feminin ibunya. Dia akan meniru dengan bangga sesuai dengan jenis kel4m1n masing-masing. Perempuan akan senang pakai rok, main masak-masakan, boneka. Sementara laki-laki bangga bercelana panjang atau bersarung, main bongkar meski gak bisa pasang mobil-mobilannya

Usia 6-9/10 (Jelang baligh) dekatkan dengan orangtua satu g3nd3r. Anak perempuan dengan ibunya, anak laki-laki dengan ayahnya. Ini akan mengasah peran lanjutan. Bukan lagi sekadar main masak-masakan atau mobil-mobilan, tapi anak mulai belajar bagaimana berkomunikasi atau bersosialisasi ala laki-laki/perempuan.


Bagaimana Ayah dan Bunda menjalani peran masing-masing di keluarga, akan dipelajari anak di usia ini.

Usia 11-15 (baligh) balik, dekatkan anak perempuan dengan ayahnya dan anak laki-laki dengan ibunya. Supaya mereka paham bagaimana relasi yang seharusnya terjalin antara laki-laki dan perempuan, bagaimana memperlakukan orang dengan jenis k3l4m1n berbeda. Limpahkan perhatian dan kasih sayang pada anak di fase ini, agar mereka merasa kantong cintanya cukup, sehingga nggak lagi memerlukan sosok pacar. Gak akan gampang bucin sama rayuan lawan jenis.

Ayah Bunda, sungguh p0r n0 grafi itu efek merusaknya jauh lebih dahsyat ketimbang n4rk0ba, ini yang saya pernah dengar dari Bunda Elly Risman dan dr. Aisah Dahlan. Saat sudah merasuk ke otak, persebarannya begitu masif. Efek addicted-nya bisa lebih parah dari n4rk0b4.

Maka yuk, hati-hati sekali, dampingi tumbuh kembang anak dengan seksama. Jangan mensubkontrakkan anak pada orang lain, karena nanti yang dimintai pertanggungjawaban kan kita sebagai orangtua. Yang terpenting adalah kita nggak bisa memantau anak 24jam. Maka memohonlah pada Allah yang Maha Menggenggam jiwa mereka, untuk selalu menjaganya dari segala gangguan. Senantiasa perbaiki diri kita, agar Allah memperbaiki seluruh aspek kehidupan kita

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Btw kalo ada kesalahan, ini semata daya tangkap saya yang keliru ya, mungkin keburu gemetar mendengar kasus-kasus yang dipaparkan oleh Kak Sinyo, tolong saya dicolek untuk perbaikannya 🙏

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya