Skip to main content

Boleh Ade Belajar Sholat Umur 7?


Pillow talk dengan anak gadis malam ini, unpredictable. Dia nanya, "Bunda, boleh Ade belajar sholatnya nanti umur 7 tahun?"

"Emmh, why?"

"Kan kata Bunda kemarin, anak-anak itu belajar sholat umur 7?"

Ah ya, sepertinya ia menguping saat saya membicarakan ini dengan kakaknya. Saat itu si nomor dua curhat kalau adiknya suka bercanda saat sholat. Ya saya bilang gak papa. Karena memang dia belum mumayiz. Belum juga terkena kewajiban bahkan sekadar untuk mempelajari sholat. Dan bla bla bla lah.

"Boleh, nanti belajar sholat 7 tahun. Lalu sekarang sebelum 7, mau belajar apa?"

"Bacaan sholat."

"Masya Allah, biar ngerti ya?"

"Iya, jadi nanti pas belajar sholat, Ade udah tau bacaannya, udah tau artinya."

"Kenapa Ade pengen tau artinya?"

"Kan Allah itu Maha baik, jadi Ade mau tau kalau sholat bacaannya, artinya gimana?"

Kami lalu bersenandung,
Allah Maha penyayang
Sayangnya tak terbilang

Dan tersenyum bersama.

Masya Allah tabarakallah ...

Perjalanan membersamai 3 anak belajar mengenal Rabb-nya sungguh tak ada yang mudah. Mereka memiliki type belajar serta minat yang berbeda.

Ada yang melalui kisah sahabat, ada yang melalui buku, ada yang cukup melihat apakah ibunya sungguh-sungguh sholat setiap azan berkumandang?

Tak mulus, penuh lika-liku, kadang tawa, tak jarang airmata.

Belumlah jika sudah ada pihak ketiga.

"Anakku rajin sholat sejak balita!" Seraya melirik anak saya yang masih memegang lego saat azan.

"Anakku meski baru TK, sudah hafal nyaris 1 Juz Amma. Dia baru surat-surat pendek ya?"

Dan lain-lain.

Hati mencelos, kadang syukur ikut melayang.

Iya ya, kok anakku begini?

Astaghfirullah
Astaghfirullah
Astaghfirullah

Melalui kuliah Ustadz Aad seolah disadarkan bahwa mengajarkan anak mencintai Allah adalah tahapan pertama sebelum menuntunnya belajar shalat, ngaji, puasa dan lainnya.

Jika dia mencintai Rabb-nya demikian besar, maka kelak kita tak lagi perlu mencari motivasi untuk membuatnya shalat tepat waktu, tanpa keluh.

Insya Allah.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Boleh jadi kita berbeda, tak mengapa, bukan untuk diperdebatkan

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Daun Jatuh Atas Izin Allah

Pagi tadi ngisengin suami. Pas dia mandi, saya siap-siap pake baju rapi. "Lho, mau kemana?" Sekeluarnya dari kamar mandi  dia heran liat isterinya udah pake baju rapi. Padahal jadwalnya mau masak. "Ikut ke kantor." "Weeh mo ngapain?" "Kata Ustadz kemarin, isteri yang baik itu selalu nempel sama suaminya. Ikut aja kemana suaminya pergi, sedih kalau berjauhan." "Tapi ini kantor, Bun." "Emang gak ada isterinya temen kamu yang suka ikut ke kantor?" "Gak ada, kecuali sekantor. Itupun jarang, biasanya beda divisi. Dan itu bisa beda gedung." "Aku gak papa kok, kamu kerja nunggu di cafe atau mall." "Mall mana?" "Plaza Semanggi, kan deket. Jalan juga bisa." "Hadeeh!" "Yaudah atuh, tolong buangin sampah dulu." "Hyaelah ..." Dia ngelepas lagi backpack-nya, jalan ke pintu samping, muter lewat pagar depan, ke arah samping untuk buang sampah. Iya muter, karena

Takjil Termanis Hari Ini

Takjil Termanis Hari Ini Kami berbuka puasa bersama barusan, saya dan si sulung. Alhamdulillah ... Sambil mengunyah takjil, dia bercerita tentang hari ini. Tentang tasnya yang berat karena hari Senin harus bawa laptop untuk pelajaran TIK. Tentang sepatu bertalinya yang bikin lama kalau lepas shalat, gak bisa sat set sat set. Tentang dia yang menyelesaikan tugas TIK nya paling duluan. Tentang satu mata pelajaran yang salah jadwal. Tentang sebungkus kacang sukro dari satpam sekolah, yang melihatnya sudah lelah di sore hari. "Kamu gak bilang lagi puasa?" "Enggak lah, nanti gak jadi dikasih kacang. Jadi Gaza bilang makasih aja." Dan tentang driver ojol yang ramah, mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan pulang. "Dia bilang, 'kamu pasti pinter ya, De? Soalnya bisa sekolah di sini. Masuknya aja susah.' Gaza mo bilang, ah enggak Pak, biasa aja, tapi seneng dibilang pinter. Ya udah Gaza diem aja. Bapaknya cerita dia juga anaknya sama kaya Gaza baru