Skip to main content

Ulang Tahun Tasya

 Ulang Tahun Tasya

Pritha Khalida

Dua hari lagi puteri semata wayangku Tasya ulang tahun yang ke-6. Aku mengecek segala persiapan. Nasi tumpeng, checked. Goodie bag, checked. Souvenir, checked! Hmm … apa lagi ya?

Tak ada pesta mewah sebetulnya, hanya syukuran sederhana di panti asuhan anak yatim yang terletak tak jauh dari tempat tinggal kami.

Ah ya, masker dan face shield untuk dibagikan ke para santri, tentu harus dipikirkan juga. Tak masalah, aku segera mencarinya di marketplace. Kucari seller yang satu kota, sehingga memungkinkan dikirim hari ini juga. Ini dia! Lucu, ada karakter animasi favorit Tasya di bagian atas face shield-nya. Ya, kuambil saja itu sejumlah anak-anak yang ada di panti.

It's gonna be a nice party ever. Kubayangkan wajah manis puteriku akan tersenyum bahagia jika melihatnya. Ini adalah pesta impiannya sejak sebulan lalu. Ia bahkan rela untuk tidak usah dibelikan sepeda baru, supaya uangnya bisa dibelikan kue dan tumpeng yang cukup banyak untuk seluruh penghuni panti.

Sungguh, aku tak pernah menyarankan atau bahkan memaksanya sekadar agar terlihat dermawan. Perjalanan kami beberapa waktu lalu saat menyusuri perkampungan di sekitar kompleks lah yang membawanya pada keinginan ini.

***

"Ma, panti asuhan yatim itu apa, sih?" tanyanya polos.

"Tempat pengasuhan anak-anak yang sudah tidak memiliki ayah, Tas. Yang saudaranya juga kurang mampu untuk sekadar menyekolahkan dan merawatnya."

“Miskin?”

Aku mengangguk pelan.

"Nggak punya ayah dari kecil? Kasihan sekali ya, Ma? Trus kalau mereka sekolah, yang kasih uang jajan siapa?" Matanya menatapku penasaran.

"Mungkin pengurus panti asuhan."

"Kalau ulang tahun? Ada kue nggak?" tanyanya lagi.

"Sepertinya enggak, karena kue ulang tahun kan nggak murah, Sayang. Kecuali ada donatur yang bayarin, mungkin bisa ada kue."

"Donatur itu apa, Ma?"

"Orang yang suka bersedekah, misalnya ke panti asuhan atau yayasan lainnya."

"Aku pengen banget jadi donatur, Ma. Kata ibu guru, kalau kita suka sedekah, pahalanya besar."

"Oh iya, betul itu."

"Tapi, aku nggak punya uang." Ia terdiam sejenak, “Ah, bulan depan kan aku ulang tahun. Gimana kalau hadiahnya uang aja?”

"Enggak jadi sepeda?" Aku memandang gadis kecil dengan kepang rambutnya yang khas itu.

Ia menggeleng, "Aku mau bagi-bagi kue sama nasi tumpeng di panti asuhan itu, Ma. Boleh kan?"

"Kamu yakin? Ini lagi pandemi, lho. Masih banyak virus di sekitar kita."

"Ya nggak usah dirayakan ramai, Ma. Kita bawa aja kue sama tumpengnya kesana, trus bawa face shield sama masker juga buat anak-anak di sana. Nah abis itu kita pulang lagi. Yang penting kan mereka bisa makan kue dan tumpeng. Pasti mereka senang!"

Ya Allah, sungguh terkejut aku mendengar ide yang tercetus dari mulut mungilnya saat itu. Permintaan yang tak sanggup untuk kutolak. Dan aku mendapatkan satu pelukan hangat sesaat setelah mengiyakan permintaannya itu.

"Love you, Mama emang the best!"

***

Tak hanya kue dan tumpeng serta face shield dan masker, aku juga sudah menyiapkan satu souvenir kecil untuk para santri di panti asuhan tersebut. Kelak nanti akan kumasukkan ke dalam goodie bag. Semoga itu bisa membuat mereka untuk selalu ingat pada kami, terutama putriku.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Sebentar lagi suamiku pulang kantor. Ya ampun, aku baru sadar kalau belum mandi. Dari tadi sibuk memikirkan urusan ulang tahun Tasya, setelah memasak untuk makan malam. Sampai terlupa urusan satu itu. Haduh, apa kata dunia kalau suamiku pulang dan melihat isterinya kucel bau bawang begini? Big No!

Sesaat setelah aku berpakaian rapi, terdengar ketukan pintu. Suamiku? Kok nggak kedengaran mobil atau pagar dibuka? 

"Assalamualaikum, paket!"

Ooh, pasti face shield dan masker yang kupesan sore tadi! 

"Wa alaykumussalam. Sebentar ya, Pak!" Bergegas aku menyambar kerudung yang tergantung di belakang pintu kamar.

Seorang remaja laki-laki berusia sekitar delapan belas tahun yang menjadi kurirnya, tersenyum sopan saat memberikan barang pesananku. Kepulangannya bertepatan dengan kedatangan suamiku.

"Apaan tuh, Ma?" tanyanya saat melihat tiga kantong plastik besar yang kupegang.

"Masker dan face shield, Pa."

"Untuk?"

"Anak-anak panti. Papa lupa ya, kan dua hari lagi Tasya ulangtahun. Sesuai request-nya, kita mau merayakan syukuran ulangtahun kali ini di panti asuhan."

"Tapi, Ma ..."

"Udah ah, aku udah pesan kue, tumpeng dan goodie bag. Jadi jangan pernah berpikir untuk membatalkannya ya, Pa." Segera saja kukatakan hal itu sebelum suamiku bilang apa-apa.

It's so special. Jadi harus dirayakan dan dipersiapkan sebaik mungkin.

Suamiku memeluk dan mengusap punggungku dengan lembut, "Iya, Ma."

Yes, dua hari lagi!

***

Dan di sinilah kami pagi ini, di panti asuhan yatim Al Ikhlas. Aku dan suami mengangkat kue dan segala printilan ulang tahun Tasya dari mobil, dengan dibantu oleh beberapa petugas panti.

"Sudah masuk saja dulu. Nanti barang-barangnya biar diangkut oleh anak-anak." Ibu Naning—sang pengelola panti, menyambut kami dengan hangat. 

Beberapa santri tanggap mendengar kalimat Bu Naning, lalu meminta kami agar memberikan beberapa kantong dan kotak besar itu pada mereka.

Pandemi membuat kami hanya bersalaman tanpa saling bersentuhan, meski sesama perempuan sekalipun. Agak canggung, sih. Tapi prokes tetap harus disiplin dijalankan. Jika tidak, akan sangat fatal akibatnya.

"Jadi nanti mau langsung pulang? Atau ikut doa bersama?" tanya Bu Naning. Aku menatap suamiku, ragu.

"Baiklah, sebentar saja tapi ya?" ujarnya.

Kami mengikuti Bu Naning melewati lorong ke halaman belakang. Tak kuduga, Bu Naning sudah menyiapkan tempat yang tertata di halaman belakang. Ada tikar yang disusun rapi dengan beberapa pot bunga di sudut. Hanya da beberapa santri kulihat.

"Hanya sebagian yang hadir, agar tetap bisa jaga jarak." Jelasnya, seolah bisa membaca isi pikiranku.

"Iya tidak apa-apa, Bu." 

Doa bersama pun digelar. Diawali dengan tilawah oleh seorang santriwati yang sangat merdu suaranya, kini doa dipimpin oleh Ustadz Irwan. 

Suasana sangat syahdu. Desir angin berpadu dengan aroma tanah yang belum sepenuhnya kering akibat hujan kemarin, membuatku tak kuasa menahan tangis. Airmata menganaksungai di pipiku. Suamiku menggenggam erat tanganku.

Tiba saatnya souvenir ulangtahun Tasya dibagikan. Goodie bag yang salah satu isinya adalah sebuah buku kecil. Setiap santri mendapatkan satu. Termasuk Bu Naning dan Ustadz Irwan. Kami membukanya di halaman yang sama, surat Yasin. Mendoakan Tasya putriku, yang sudah tujuh hari berpulang akibat Covid.

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel" 

 

 

 

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel" 




Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?