Skip to main content

Anak Picky Eater Lebih Rentan Terkena Anemia?

Tentang Anemia Defisiensi Besi

“Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas), satu dari tiga anak balita di Indonesia kekurangan zat besi. Jangan sampai kita tenang-tenang saja dan ternyata anak kita yang terkena anemia,” demikian diungkapkan oleh dr. Luciana, yang merupakan bagian dari Indonesian Nutrition Association di acara konferensi pers virtual, Kamis (18/2/2021).


Temuan ini juga diperkuat oleh riset yang dirilis lebih dari satu dekade sebelumnya yang berjudul "Worldwide Prevalence of Anaemia 1993–2005" oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Disebutkan di situ bahwa anemia menyerang hingga setengah anak-anak di bawah 5 tahun di seluruh dunia. Jenis anemia yang paling umum pada anak-anak adalah anemia mikrositik akibat kekurangan zat besi atau lazim disebut ADB (Anemia Defisiensi Besi).

Kita mungkin akan terkejut mengetahui fakta ini. Tapi jangan malah parno, ya Moms. Coba cek, sudah memadai kah informasi yang kita ketahui tentang anemia khususnya ADB?

Anemia berasal dari bahasa Yunani: ἀναιμία anaimia, artinya kekurangan darah. Secara lengkapnya anemia merupakan keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal.

Anemia merupakan tantangan lintas generasi yang bisa terjadi pada anak dan remaja, juga pada ibu hamil dan menyusui. Suatu kondisi bermasalah yang terjadi pada saat ini namun menjadi penentu untuk masa depan.



Pengalaman Bergelut dengan Anemia

Beberapa tahun lalu saat usianya sekitar 3-4 tahun, anak kedua saya pernah didiagnosa terkena anemia zat besi (ADB). Saya lupa berapa tepatnya angka kadar zat besi di tubuhnya. Pastinya sih di bawah 11mg/dL, jumlah minimal kadar zat besi dalam tubuh anak balita laki-laki. Dan saya yakin hasil lab-nya saat itu akurat. Maka, dengan sedikit sedih dan denial, saya segera menebus semua resep yang diberikan oleh DSA.

Kenapa denial? Karena yang ada di benak saya saat itu, namanya anemia identik dengan kurang gizi. Coba sebutkan makanan yang mengandung zat besi, seingat saya adalah daging, telur, ikan, hati, sayur-sayuran hijau dan kacang-kacangan. See, makanan ‘baik’ semua itu. Masa sih saya kelewat ngasih anak saya makanan-makanan itu? Rasanya setiap hari menu lima bintang saya sajikan untuk kedua anak saya (oya saat itu 2016-an, anak saya baru 2).

Jadi, apa dong yang bisa memicu ADB pada anak saya? Kata DSA, beberapa hal yang bisa memicu ADB pada anak adalah ada masalah dengan cara tubuhnya menyerap zat besi. Oke asupan zat besinya cukup, tapi bisa jadi penyerapan zat besinya yang kurang baik, adanya cedera atau pendarahan dalam usus, bayi lahir premature, kurang asupan daging dan terlahir dari ibu yang anemic.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu! Bilal—si nomor dua itu kan picky eater parah. Beberapa makanan yang saya tulis di atas sebagai sumber makanan kaya zat besi, justru ditolak olehnya. Daging merah, dia nggak suka kecuali daging bebek. Sementra kami jarang makan bebek. Telur yang ternyata kuningnya mengandung banyak zat besi, dia juga nggak suka. Biasanya kalau makan telur, justru kuningnya ini disingkirkan. Hati ayam atau sapi, no. Sayur-sayuran juga sedikit sekali yang bisa masuk. Ketimbang dedaunan, dia lebih suka wortel dan mentimun (eh, ini sayur atau buah sih?) Mungkin satu-satunya sumber zat besi yang lahap dia makan adalah ikan dan susu pertumbuhan yang terfortifikasi mengandung Zat besi.

Maka tak mengherankan jika anak itu didiagnosa ADB. Eh tapi, kan anemia itu biasanya ditandai dengan 4 L alias Lemah-Letih-Lesu-Lunglai? Anak saya enggak, tuh! Dia aktif kapan dan dimanapun. Hasrat denial kembali masuk ke dalam hati. Oow jangan salah, ternyata gejalanya bukan hanya itu, lho. Anak yang terkena ADB rata-rata mengalami gejala sebagai berikut: Lemas, mudah Lelah, mudah terinfeksi, gangguan belajar, gangguan perilaku, GTM berkepanjangan dan BB yang stagnan. Yang dialami Bilal saat itu adalah BB-nya yang cenderung stagnan.

Oke sip, mari kita akui, obati dan perbaiki semuanya. Alhamdulillah juga terdekteksi sejak dini. Jadi bisa segera ditangani.

Langkah pertama saya saat itu adalah memastikan makanan-makanan yang kaya zat besi bisa masuk ke dalam tubuhnya. Dan aha, hasil browsing serta ngobrol sama teman-teman, akhirnya saya mendapatkan beberapa inspirasi menu untuk mengakali berbagai makanan dengan zat besi tinggi itu tak ditolak olehnya. Daging merah misalnya, saya membeli dalam bentuk daging giling yang diolah menjadi bakso, campuran perkedel, topping nasi goreng, burger sampai isian martabak. Alhamdulillah, berhasil … berhasil … berhasil! (eh gak usah nyanyi dan joget ala Dora gitu dong bacanya).


Selain daging merah, menu ikan saya masak lebih sering. Kacang-kacangan? Ah saya menyerah dengan itu. Karena memang anaknya nggak begitu suka. Bisa masuk dua butir kacang merah dalam sup atau sesendok bubur kacang hijau tanpa dilepeh saja sudah alhamdulillah. Syukurnya untuk sayur, saya bisa mengakalinya dengan mengajaknya nonton film animasi 'Popeye the Sailorman'. Tahu dong ya, kalau sumber kekuatan terbesar si Popeye adalah bayam?

“Mau sekuat Popeye?”

“Mau.” Dengan semangat anak saya menjawab.

“Makan bayam.”

“Ih, ogah.”

“Ya udah lupakan badan kuat macam Popeye.”

Dia merenung sejenak, sampai oke lah. Diawali dengan 1-2 suap, lalu bertambah sedikit demi sedikit, sampai bisa makan semangkok kecil. Kadang bayam ini juga saya selundupkan sebagai isian omelet.

Oya, jangan lupa untuk memperhatikan kecukupan asupan vitamin C pada anak. Vitamin C ini membantu mengoptimalkan penyerapan zat besi dalam tubuh, khususnya untuk asupan zat besi non-heme atau yang berasal dari protein nabati. Karena zat besi dari protein hewani umumnya lebih mudah untuk diserap oleh tubuh. Contoh vitamin C yang cukup tinggi terdapat dalam paprika merah, brokoli, jambu biji, kiwi, cabe, kelengkeng, mangga, stroberi dan jeruk.

Pemberian obat cacing secara berkala serta Zink untuk mengatasi kasus diare pada anak juga merupakan hal yang tampak sepele namun besar manfaatnya. 

Alhamdulillah 1-2 bulan kemudian, berat badannya bertambah. Nggak cek lab lagi, sih. Mengingat kata DSA-nya, kenaikan berat badan ini bisa jadi salah satu indikasi bahwa anak sudah tak lagi mengalami ADB.

Saat ini usianya sudah 7 tahun. Meski masih picky eater, tapi alhamdulillah pola makannya sudah lebih baik dengan asupan yang lebih variatif. Pengalaman ini juga menjadi pembelajaran untuk saya agar lebih cermat memperhatikan kelengkapan gizi untuk keluarga.

Anemia bukanlah penyakit yang harus ditakuti. Mencegahnya memang penting. Namun jika sudah terkena, jangan keburu parno atau denial. Atasi sesuai petunjuk dokter. Banyak baca dari berbagai sumber (buku, majalah, internet) yang terpercaya.

Khususnya untuk anak-anak, Anemia adalah penyakit yang harus segera dituntaskan. Karena bisa berimbas pada berbagai hal, salah satunya adalah pada performance belajar dan prestasi anak. Gangguan konsentrasi serta mudah mengantuk adalah sebagian efek dari kekurangan zat besi. Inilah titik awal mengapa kekurangan zat besi bisa berpengaruh terhadap performance belajar anak.


Dukungan Corporate dalam Peningkatan Kesehatan yang Berkelanjutan

'One Planet, One  Health'. Kesehatan planet ini dimulai dari kesehatan individu yang menghuninya. Demikian komitmen Danone Indonesia sebagai perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan serta minuman kaya nutrisi seperti SGM, Nutridrink, Mizone, Nutrilon, Bebelac dan lainnya.

Danone yang didirikan pada 1954 dengan nama awal NV Saridele kemudian berganti dengan nama PT. Sarihusada, sangat concern terhadap permasalahan nutrisi bangsa. Menjadikan 'One Planet One Health' tak hanya sekadar sebagai slogan semata, namun berupaya keras untuk diwujudkan dalam setiap langkah perusahaan.

Tidak hanya berperan dalam kesehatan masyarakat melalui makanan serta minuman bernutrisi yang diproduksi, Danone juga berupaya mengambil bagian dalam program Sustainable Development yang selaras dengan tujuan PBB pada 2030, dengan cara memperhatikan produksi dari hulu ke hilir. 

Pencegahan stunting adalah salah satu program unggulan Danone yang dilaksanakan bekerjasama dengan pemerintah dan beberapa pihak lainnya. Persembahan produk yang kaya nutrisi termasuk zat besi, dipercaya bisa mencegah kemungkinan anemia, yang diketahui menjadi salah satu penyebab stunting. 

Edukasinya sejauh ini dilakukan di 8 propinsi terhadap 4.000 orang guru, 44.000 siswa PAUD dan 44.000 orang ibu. Secara kongkrit prosesnya dibuat dalam bentuk program GESID (Generasi Sehat Indonesia), taman Pintar dan Duta 1.000 Pelangi.


Sinergi Semua Pihak

'It takes a village to raise a child'. Saya kemudian teringat akan pepatah asal Afrika ini. Yang maknanya adalah, butuh sinergi antar banyak pihak dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Dalam bidang kesehatan khususnya, pemberian nutrisi yang tepat dan seimbang pada seorang individu sejak masa kanak-kanak, harus diupayakan oleh beberapa pihak terkait. Yang pertama tentu saja orangtua sebagai kunci pelaksana. Didukung oleh program-program pemerintah yang mengedukasi para orangtua dari lapisan terbawah yang dilaksanakan oleh nakes melalui tatap muka ataupun edukasi di media. Ketiga dukungan corporate dibutuhkan untuk penyediaan makanan dan minuman serta kegiatan yang bisa menunjang kesehatan masyarakat ini. Danone adalah salah satu yang berkomitmen sejak lama untuk mewujudkannya.

Dengan sinergi itu insyaaAllah kedepannya Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan di bidang kesehatan dan tumbuh kembang, paling tidak dengan menekan angka stunting pada anak-anak.


Salam hangat,

Pritha Khalida

 

Sumber Rujukan:

Channel YouTube Nutrisi Bangsa

https://www.youtube.com/watch?v=ITEuSXaxIGY&t=303s

https://www.youtube.com/watch?v=fuYipQ_bdn8&t=20s

https://www.inews.id/lifestyle/health/anemia-pada-anak-kadang-muncul-tanpa-gejala-waspada-dampak-jangka-panjangnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Anemia

Sumber Gambar:

Channel Youtube Nutrisi Bangsa

Pinterest

cpmgsandiego.com

Comments

  1. Coba jaman dulu ada GESID ya Mbak, pasti anak remaja seusiaku memiliki pengetahuan soal anemia defisiensi besi dengan baik. Dulu aku nggak paham dan ngira kalau kelesuanku itu karena capek aja. Padahal anemia.

    Kalau pengalamanku dulu, penderita tidak menyadari hal itu pertama karena kurang pengetahuan, kedua gejalanya awalnya ringan. Seperti capek biasa. Padahal ....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?