Skip to main content

Sepotong Iman di Tengah Kecemasan


Pagi tadi (lagi-lagi) ada drama di rumah kami. Iya, keluarga ini memang sarat drama, tapi bagi saya ini menjadi sarana belajar setiap harinya. Dituliskan bukan untuk mengeluh, manatau bermanfaat.

Anak kedua saya terdiam di kamarnya, bilang bahwa dia nggak mau sekolah. Feeling saya langsung on, oh dia cemas dengan ujian lisan hari ini. Tapi tetep saya tanya, buat memastikan.

"Takut nanti disuruh bacain ayat. Bilal gak hafal. Cuma hafal surat apa, ayat berapa sama artinya paling. Ayatnya nggak, hiks ..."

"Kenapa nggak hafal?"

"Belum pernah dibaca."

Ah ya saya paham, biasanya di kelas lalu, ayat diambil dari juz 30 yang sudah familiar di benaknya. Tapi kini materi bertambah. Tidak lagi dari juz terakhir.

"Aa, tau nggak, kalau orang beriman itu seharusnya nggak takut terhadap apapun?

"Jadi maksudnya Bilal gak beriman?"

"Bunda gak bilang gitu. Tapi coba ingat Bilal bin Rabah, udah kaya gimana tau berat ujiannya, dia gak takut. Karena dia tau, kalaupun ujian itu menyebabkan hilang nyawanya, ada surga Allah yang akan menyambutnya. Maka dengan tegar dia bilang, 'Ahadun Ahad'. Nah jika dengan ujian lisan aja sudah takut, maka artinya nggak yakin bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Penyayang. Coba, Aa yakin nggak?"

"Yakin!"

"Kok takut ujian? Kan udah belajar."

"Karena belum hafal ayatnya."

"Artinya apa? Lain kali belajar itu jangan dadakan. Setiap hari, hari ini satu ayat. Kalau belum hafal, ulangi besoknya. Belum hafal lagi, ulangi lagi. Terus sampai hafal. Masa sih Allah gak kasih hafal kalau kita terus-terusan menghafal?"

"Bilal takut remed. Malu kalau remed."

"Kalau nggak masuk, nilainya lebih rendah dari yang remed."

"Kok bisa?"

"Yaiyalah, gak masuk dapat nol. Kalau masuk tapi gak bisa, mungkin dapat 50. Paling gak masih dapat. Bisa jadi sebetulnya Aa berpeluang dapat 80 karena gak sesusah yang dibayangkan. Yah ilang deh peluangnya gara-gara gak masuk."

"Emang iya?"

"Mana tau, Bunda kan bukan Ustadz kamu. Paling gak, kamu tau bentuk ujian di level ini kaya gimana. Ini ujian pertama kan, pasti beda sama waktu tahun kemarin. Nanti setelah tau, kita bikin strategi belajar. Ya masa naik kelas tapi cara belajarnya masih sama kaya kemarin? Nanti SMP, SMA meningkat lagi caranya. Kalau nggak dinaikin pelan-pelan sedikit demi sedikit dari sekarang, kita gak bisa langsung jebret naikin banyak. Gak akan kuat."

Dia diam. Menghela nafas.

"Sambil istighfar narik napasnya."

"Astaghfirullahaladzim."

"Udah tenang?"

"Ulang belajar lagi, masih ada waktunya nggak?"

"10 menit masih."

"Ya udah, ulang arti ayatnya aja. Kalau ayat-ayatnya gak akan keburu."

"Ok siap."

Sepuluh menit berlalu. Lelaki kecil di hadapan saya lalu berdiri dari kursi makannya, "Audzubillahiminasysyaithaanirrajiim. Bismillahirrahmannirrahim. Bilal berangkat, Bun."

"Jangan lupa doa Nabi Musa."

"Iyaa."

Rabbisyraḥ lī ṣadrī wa yassir lī amrī waḥlul 'uqdatam mil lisānī yafqahụ qaulī
(Qs. Thaha : 25-28)

Artinya: "Ya Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan ringankanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku."

"Assalamualaikum Bun!"

"Wa 'alaykumussalam."

❤️❤️❤️
Masya Allah Tabarakallah...
Jika ada yang bertanya, apakah selalu semudah ini memotivasi anak? Tentu tidak. Tapi satu yang saya yakini, jika kita melibatkan Allah, maka urusan biasanya jauh lebih mudah. Meminimalisir emosi kita juga.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?